
Pada model hewan dengan kanker paru-paru, racun lebah juga terbukti menekan ukuran tumor, sekaligus mengurangi pembentukan pembuluh darah baru yang menjadi jalur suplai makanan tumor.
Hasil-hasil itu memang memberi secercah cahaya, meski masih samar. Para peneliti menyebutnya “promising but preliminary”, menjanjikan tetapi baru tahap awal. Di ruang publik, cerita tentang lebah sudah terlanjur tumbuh sebagai semacam mitos modern.
Bahwa peternak yang kerap disengat lebah jarang terkena kanker terdengar seperti kearifan yang diwariskan dari ladang madu. Cerita itu gampang menyebar, apalagi di era media sosial yang kerap menyukai kisah-kisah penyembuhan alami.
Namun, di balik romantisasi itu, dunia sains berjalan lebih lambat dan penuh kehati-hatian. Para ilmuwan tahu bahwa satu-dua hasil laboratorium tak cukup untuk membangun terapi medis.
Efek racun lebah pada sel di cawan petri tidak selalu sama ketika masuk ke tubuh manusia yang kompleks, dengan sistem imun, metabolisme, dan jaringan organ yang saling terhubung. Di titik inilah mitos berhadapan dengan metodologi: keyakinan populer diadu dengan bukti klinis yang masih kosong.
Bagi publik, legenda tentang lebah memberi harapan alternatif, sebuah jalan keluar dari penyakit yang kerap dianggap vonis. Tetapi bagi ilmuwan, justru di situlah tantangannya: apakah racun lebah benar-benar bisa dikembangkan menjadi obat kanker, ataukah hanya fatamorgana ilmiah yang menguap seiring waktu?
Jalan menuju jawabannya panjang, penuh eksperimen, kegagalan, dan revisi. Harapan tetap ada, tapi sains menuntut kesabaran yang sering kali tak seirama dengan harapan pasien yang berkejaran dengan waktu.
Dalam tulisannya di Cancers, tim dari Lublin menutup dengan nada hati-hati. “Racun lebah dan melittin menunjukkan aktivitas sitotoksik pada berbagai jenis tumor dengan potensi anti-metastasis yang signifikan. Namun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut, khususnya uji klinis pada manusia,” tulis mereka.
Jadi, apakah lebah bisa menyembuhkan kanker? Jawabannya masih menggantung. Racun lebah telah membuka pintu, tapi jalan menuju klinik masih panjang.
Untuk sementara, sengatan lebah tetaplah menyakitkan. Namun di balik rasa perih itu, tersimpan kemungkinan bahwa alam sedang menawarkan petunjuk: obat untuk salah satu penyakit paling mematikan bisa datang dari sayap mungil seekor lebah.