Pertempuran hukum selama 9 bulan antara perusahaan ByteDance, pemilik aplikasi TikTok asal Tiongkok, dan pemerintah Amerika Serikat (AS) berakhir dengan kemenangan Washington pada 17 Januari 2025 (CBS News, 19/1/2025).
Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat mengesahkan
larangan aplikasi TikTok yang sebelumnya disetujui oleh Kongres.
Kekhawatiran Keamanan
Nasional
Mahkamah Agung
Amerika Serikat pada hari Jumat (17/1/2025) mengesahkan undang-undang yang melarang
aplikasi TikTok jika kepemilikannya tidak dijual oleh perusahaan ByteDance asal
Tiongkok, dengan alasan kekhawatiran keamanan nasional. Undang-undang ini sudah
ada sejak April tahun lalu dengan dukungan berbagai pihak, namun selama 10
bulan terakhir terhambat oleh sengketa hukum.
Larangan ini
diberlakukan pada hari Minggu (19/1), yang merupakan hari terakhir masa jabatan
Presiden Joe Biden. Beberapa negara lain pada tahun 2023 telah mengambil
langkah cepat untuk melarang aplikasi ini di perangkat pemerintah karena
khawatir data sensitif dapat bocor saat aplikasi diunduh.
Banyak negara
waspada terhadap platform ini kaitannya dengan Tiongkok. Perusahaan teknologi
Barat seperti Airbnb, Yahoo, dan LinkedIn juga telah meninggalkan Tiongkok atau
mengurangi aktivitas mereka di negara tersebut karena aturan ketat terkait
privasi.
Bantahan
TikTok
TikTok
membantah klaim bahwa mereka mengumpulkan lebih banyak data pengguna
dibandingkan platform media sosial lainnya. TikTok menyebut larangan ini
sebagai informasi salah tanpa dasar dan menegaskan bahwa keputusan ini dibuat
tanpa pemeriksaan atau bukti yang jelas. TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan
teknologi Tiongkok ByteDance, menegaskan bahwa mereka dikelola secara
independen dan tidak membagikan data dengan pemerintah Tiongkok.
Pejabat
pemerintah Tiongkok dan ByteDance dengan tegas membantah penyalahgunaan data
dan menyatakan bahwa cara mereka mengelola informasi tidak berbeda dengan
perusahaan media sosial lainnya.
TikTok
menyatakan bahwa mereka tidak membagikan data pengguna kepada pemerintah
Tiongkok dan menyebut larangan ini sebagai ‘ketakutan yang tidak berdasar’ yang
muncul akibat perselisihan lebih luas antara beberapa negara dan Tiongkok.
Pukulan Besar terhadap Kebebasan Berekspresi
Sebuah kelompok
pembela kebebasan berbicara di Amerika Serikat menyatakan bahwa keputusan
Mahkamah Agung AS yang menolak memblokir undang-undang yang melarang aktivitas
aplikasi TikTok di negara itu mulai Minggu, 19 Januari, merupakan pukulan besar
terhadap kebebasan berekspresi secara daring di negara tersebut.
Para ahli
berpendapat bahwa keputusan ini akan memengaruhi lebih dari 170 juta warga
Amerika yang menggunakan platform media sosial tersebut dan membahayakan
hak-hak konstitusional setiap warga negara untuk berbicara dan menerima
informasi secara online.
Patrick Toomey,
Wakil Direktur Proyek Keamanan Nasional di American Civil Liberties Union
(ACLU), menyatakan:”Putusan Mahkamah Agung ini sangat mengecewakan karena
memungkinkan pemerintah menutup seluruh platform dan membatasi hak kebebasan
berbicara berdasarkan ketakutan dan spekulasi. Dengan tidak mencegah larangan
ini, Mahkamah Agung memberikan kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya
kepada pemerintah untuk membungkam suara-suara yang tidak disukai. Hal ini
meningkatkan risiko bahwa alasan keamanan nasional yang luas akan mengikis
hak-hak fundamental kita.”
Kelompok
tersebut menegaskan bahwa, berdasarkan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika
Serikat, pemerintah harus memberikan alasan yang sangat kuat untuk melarang
seluruh platform komunikasi daring. Pemerintah juga harus membuktikan bahwa
larangan ini adalah satu-satunya cara untuk mencegah ancaman serius terhadap
keamanan nasional dan bahwa pembatasan ini tidak melebihi batas yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagaimana
yang disampaikan oleh ACLU dalam mendukung TikTok, pemerintah Amerika Serikat
bahkan tidak mendekati standar ini.
Pelarangan TikTok Demi Kepentingan Keamanan Nasional. (Foto: Global Times)
Ancaman Keamanan Nasional atau Kebenaran yang Tidak Nyaman?
>> Baca Selanjutnya