Setiap hari, Aji (bukan nama sebenarnya) dengan semangat membuka WhatsApp. Ia mencari topik kontroversial untuk dikomentari. Dalam hitungan menit setelah memosting opininya—yang sering kali provokatif dan menggunakan huruf besar dan emoticon menyala—balasan mulai berdatangan.
Ada yang setuju, ada yang membantah, namun sebagian besar justru menyerangnya dengan kata-kata kasar. Alih-alih mengabaikan atau merespons dengan tenang, Aji semakin berapi-api membalas satu per satu. Ia menikmati adu argumen, merasa puas ketika bisa "menang" dalam debat online.
"Saya sih nggak masalah kalau dihujat, yang penting pendapat saya keluar. Kalau ada yang nggak suka, ya debat aja," ujarnya.
Namun, kebiasaan ini bukannya tanpa konsekuensi. Sejak aktif "bertarung" di media sosial, Aji merasa lebih mudah tersulut emosi, bahkan dalam kehidupan nyata. Ia mengaku sering merasa cemas jika tidak membuka media sosial dalam beberapa jam.
"Kadang kepikiran, 'Jangan-jangan ada yang nyerang saya sekarang?' atau 'Wah, harus bales nih biar nggak kelihatan kalah'," tambahnya.
Di sisi lain, ada juga warganet yang merasa lelah menghadapi pertengkaran di media sosial. Rina (27), seorang karyawan swasta, memilih untuk tidak ikut-ikutan. "Dulu saya sering adu argumen di Facebook, tapi akhirnya capek sendiri. Rasanya energi terkuras untuk hal yang nggak penting," ujarnya. "Sekarang, kalau lihat orang debat panas, saya lebih memilih scroll saja atau bahkan mute topiknya."
Menurut psikolog klinis dr. Andini Pratama, kebiasaan sering bertengkar di media sosial bisa menjadi tanda seseorang kesulitan mengelola emosinya. "Banyak orang merasa lebih berani mengungkapkan pendapat secara ekstrem di dunia maya karena ada jarak fisik. Tapi jika terus-menerus terlibat dalam konflik, itu bisa berdampak buruk pada kesehatan mental," jelasnya.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pertengkaran online dapat meningkatkan stres dan kecemasan. "Ketika seseorang terbiasa berada dalam lingkungan yang penuh konflik, tubuhnya akan sering memproduksi hormon stres seperti kortisol. Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental," tambah dr. Andini.
Namun, tidak semua orang sadar akan dampak negatifnya. Bagi sebagian orang, seperti Ardi, bertengkar di media sosial justru menjadi bagian dari identitasnya. "Kalau nggak ribut, rasanya media sosial jadi membosankan," katanya.
Syamsuddin Aziz, M.Phil., Ph.D., dosen tetap dan peneliti di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, menyoroti fenomena ini dalam konteks perilaku komunikasi di era digital.
Beliau menyatakan bahwa interaksi di media sosial sering kali mendorong individu untuk lebih vokal dan terkadang agresif dalam menyampaikan pendapat, yang dapat mempengaruhi dinamika komunikasi secara keseluruhan.
Psikolog menyarankan agar seseorang mengelola emosi sebelum membalas komentar. Jika suatu postingan memicu emosi negatif, ambil waktu sejenak untuk berpikir sebelum merespons. Tidak semua perdebatan layak untuk diikuti, dan kadang, diam adalah pilihan terbaik.
Jika ingin berdiskusi, lebih baik menggunakan argumen yang berbasis data dan tetap menghormati lawan bicara. Mengurangi paparan konten negatif juga bisa membantu, misalnya dengan berhenti mengikuti akun-akun yang sering memicu emosi buruk.
Pada akhirnya, media sosial bisa menjadi tempat yang bermanfaat jika digunakan dengan bijak. Jika Anda merasa sering terlibat dalam pertengkaran online dan mulai merasakan dampak negatifnya, mungkin sudah saatnya untuk mengevaluasi kembali kebiasaan digital Anda.