Oleh: Khusnul Yaqin*
Sebelum Revolusi Islam Iran yang diinspirasi dan dimotori oleh Imam Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, dunia Islam seolah kehilangan arah kompasnya. Umat telah tercerai berai ke dalam sekat-sekat ideologis dan politik yang dangkal, sementara narasi agung tentang Ahlul Bait dan dua belas Imam sebagai pemimpin rohaniah dan intelektual umat manusia terkubur di bawah debu sejarah. Padahal, benih-benih kebenaran itu telah lama tertanam bahkan dalam kitab-kitab hadis rujukan Sunni, bukan hanya Syiah.
Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa mati tanpa mengenal Imam zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih Muslim).
Hadis tersebut bukan sekadar seruan teologis, tetapi prinsip logis dan sosial yang tak dapat dipisahkan dari keberlangsungan peradaban. Umat tanpa pemimpin yang definitif akan kehilangan tatanan. Sebab, kepemimpinan bukan hanya urusan administratif, melainkan poros rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas masyarakat.
Sabda Nabi yang lain menguatkan: “Akan ada setelahku dua belas khalifah, semuanya dari Quraisy.” (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dan beliau pun bersabda lagi:“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka berat (al-tsaqalain): Kitab Allah dan ’Itrah-ku, Ahlul Bait-ku. Keduanya tidak akan berpisah hingga datang kepadaku di telaga (Kawtsar).” (Hadis riwayat Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Ketiga hadis ini berpadu menjelaskan satu titik terang: bahwa Islam bukan hanya sistem keimanan, tetapi juga sistem pengetahuan dan kepemimpinan yang berporos pada Ahlul Bait. Siapa yang mengabaikan mereka, kehilangan jalan lurus akal dan nurani.
Al-Qur’an sendiri menegaskan kesucian mereka:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Maka logis sekali jika masyarakat tanpa pengetahuan dan pengenalan terhadap pemimpin spiritualnya disebut jahiliyah: masyarakat yang kehilangan logika ilahiah dalam sistem sosialnya, yang berjalan tanpa arah, dan menolak keteraturan rasional yang bersumber dari wahyu.

Ilustrasi Akal.
Revolusi Akal dan Wahyu
Di tengah kejumudan dunia Islam abad ke-20, Imam Khomeini muncul bukan hanya sebagai ulama, tetapi sebagai rausyanfikir — pemikir tercerahkan yang menembus batas antara ilmu, iman, dan aksi. Ia menghidupkan kembali makna “Imam zaman” bukan sebagai konsep dogmatis, tetapi sebagai keniscayaan akal dan syariat. Baginya, mengenal Imam bukan sekadar pengakuan spiritual, melainkan fondasi bagi tatanan sosial yang adil.
Khomeini menegakkan revolusi bukan demi kekuasaan seolah menyerukan kembali seruan datuknya Imam Husain saat ke Karbala (“Aku tidak keluar (berangkat) karena kesombongan, keangkuhan, membuat kerusakan, atau menzalimi siapa pun. Aku keluar hanya untuk menuntut perbaikan (islah) di tengah umat kakekku (Nabi Muhammad saw). Aku ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta berjalan di atas jalan kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib), tetapi demi menegakkan logika Ilahi di tengah kekacauan dunia materialis. Ia menyadarkan umat bahwa tanpa pemimpin yang berakar pada wahyu, manusia akan jatuh dalam tirani hawa nafsu, kolonialisme, dan penyembahan terhadap kapital serta senjata. Inilah yang disebutnya sebagai taghut — kekuasaan yang menolak Tuhan namun menuhankan dunia.
Dengan revolusi Islam 1979, Khomeini membuktikan bahwa konsep wilayat al-faqih — kepemimpinan ulama yang memahami syariat dan realitas — bukan sekadar ide teoretis, melainkan sistem pemerintahan yang mampu berdiri tegak di hadapan hegemoni dunia. Iran berubah menjadi laboratorium peradaban: tempat di mana ilmu, teknologi, dan spiritualitas berpadu dalam satu kesadaran tauhid.
Sejak hari pertama revolusinya, Republik Islam Iran menegaskan dirinya bukan sebagai kerajaan atau negara sekuler, tetapi sebagai peradaban Qurani. Prinsipnya sederhana namun radikal: “La gharba wa la sharqiyya” — tidak Timur, tidak Barat. Hanya Islam.

Ilustrasi tentang 'Bukan Barat' dan 'Bukan Timur'.
Negeri itu kemudian membangun kekuatan intelektual dan teknologi dengan keyakinan bahwa kemandirian ilmu adalah bentuk tertinggi dari tauhid sosial. Maka lahirlah universitas-universitas riset, pusat teknologi rudal dan nuklir, dan lembaga-lembaga sosial yang menyatukan sains dengan spiritualitas. Bagi Khomeini, ilmu adalah senjata untuk menegakkan keadilan, bukan alat dominasi.
Dari kesadaran itu pula lahir poros perlawanan ( محور المقاومة ) — jaringan global yang berdiri di atas prinsip kemerdekaan dan martabat manusia, menolak tunduk kepada “setan besar” Amerika Serikat dan zionisme Israel.
Dengan kekuatan ilmu dan iman, Iran mengembalikan harga diri dunia Islam. Israel, yang selama puluhan tahun menjadi simbol dominasi dan ketakutan, kini bergetar menghadapi kebangkitan blok muqawamah yang dipelopori oleh Iran, Hizbullah, dan sekutu-sekutunya.
Namun ironinya, di tengah fakta yang terang ini, masih banyak umat yang menolak kebenaran revolusi tersebut. Mereka hidup di bawah pengaruh wacana jahiliyah modern — sebuah kondisi di mana manusia mengagungkan teknologi namun kehilangan arah spiritual. Mereka memuja demokrasi tetapi menolak wahyu; mereka berbicara tentang kebebasan tetapi membiarkan penindasan atas Palestina.
Masyarakat seperti ini sejatinya bukan modern, melainkan jahiliyah baru: masyarakat yang mengira dirinya rasional, padahal tunduk pada logika media dan kapital. Mereka menolak Imam Khomeini bukan karena tak memahami argumen logisnya, melainkan karena hati mereka tercelup atau tenggelam dalam hegemoni ideologis Barat.
Padahal, Khomeini telah menunjukkan dengan tindakan, bukan sekadar ucapan, bahwa mengenal pemimpin zaman berarti mengenal hukum akal dan wahyu secara bersamaan. Islam bukan agama ritual; Islam adalah proyek peradaban.
Kini, empat dekade setelah kepergiannya, sosok Khomeini tetap hidup dalam denyut sejarah. Ia membalikkan wajah dunia, menyalakan kembali api rasionalitas ilahiah di tengah gelapnya materialisme global.
Namun dunia masih terbelah antara mereka yang mengenal Imam zamannya dan mereka yang hidup dalam jahiliyah. Yang pertama berjalan dengan cahaya pengetahuan dan keberanian. Yang kedua terperangkap dalam sistem tanpa arah — sistem yang memuja kebebasan tetapi takut pada kebenaran.
Imam Khomeini bukan sekadar pemimpin revolusi; ia adalah simbol kesadaran baru bahwa mengenal Imam zaman berarti menolak kebodohan, menolak penjajahan, dan menolak segala bentuk ketundukan selain kepada Allah melalui Rasul SAW dan Ahlul Baitnya yang suci.
Masyarakat jahiliyah boleh menertawakan Iran, tetapi sejarah telah menulis siapa yang sesungguhnya berpihak pada logika wahyu dan siapa yang tenggelam dalam logika kekuasaan.
Karena pada akhirnya, dunia akan tunduk pada satu kenyataan yang tak bisa diingkari: bahwa tanpa Imam, manusia hanya akan terus berputar dalam lingkaran kebodohan — sebuah jahiliyah yang berwajah modern, namun tetap gelap di mata Tuhan.
*Penulis adalah Guru Besar pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.