MAKASSAR, UNHAS.TV - Kebijakan tarif impor timbal balik (Reciprocal Tariffs) yang dibuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada sejumlah negara, ternyata tak membuat China ketakutan.
Padahal sejumlah negara di dunia sudah "angkat tangan" dan bersedia melakukan perbincangan serius dengan Donald Trump agar tidak mengenakan tarif yang tinggi kepada produk mereka bila masuk ke Amerika Serikat.
Pada sisi lain, China justru melakukan perlawanan dengan membalas menaikkan tarif tinggi terhadap produk AS yang masuk ke China. Pada tahap yang lebih maju, China justru bergeming untuk tetap kukuh dengan pendiriannya dan membuat Trump melemah atas kebijakannya.
Lalu, apa yang dimiliki China sehingga demikian kuat melakukan perlawanan? Modal apakah yang dimiliki China sehingga Amerika Serikat terlihat begitu tak berdaya?
Kurangnya perhatian Tiongkok atas tarif timbal balik Trump pada tahun 2025 berasal dari kombinasi faktor ekonomi, strategis, dan politik. Rincian alasan utamanya sebagai berikut:
Ketahanan Ekonomi dan Perdagangan yang Beragam: Ekonomi Tiongkok semakin bergeser ke arah konsumsi domestik dan perdagangan dengan negara-negara non-Barat, mengurangi ketergantungannya pada pasar AS.
Sejak perang dagang 2018-19, Tiongkok telah mendiversifikasi pasar ekspornya, dengan fokus pada kawasan seperti Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika, serta memperkuat hubungan melalui inisiatif seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).
Misalnya, Tiongkok telah mengurangi ketergantungannya pada produk pertanian AS seperti kedelai dengan mendapatkan sumber dari negara lain. Diversifikasi ini membuat tarif AS tidak terlalu mengancam stabilitas ekonomi Tiongkok secara keseluruhan.
Barang AS Tidak Berpengaruh: Pada saat ini AS memberlakukan tarif atas barang-barang China mencapai 245% (termasuk tarif timbal balik 125%, tarif terkait fentanil 20%, dan tarif Pasal 301).
Para pembuat kebijakan Tiongkok tampak yakin bahwa barang-barang AS sudah tidak lagi masuk ke pasar China, yang berarti kenaikan tarif AS tidak memiliki dampak tambahan.
Sentimen ini digaungkan dalam pernyataan dari Kementerian Luar Negeri China, yang telah mengindikasikan bahwa mereka "tidak akan memperhatikan" eskalasi tarif AS lebih lanjut, dan melihatnya tidak lebih sebagai "permainan angka".
Kesiapan Penanggulangan: China telah bersiap untuk eskalasi perdagangan ini dengan menerapkan kontrol ekspor pada mineral penting seperti logam tanah jarang (Rare Earth Metal). Kontrol ini ternyata sangat efektif karena industri AS di bidang semikonduktor, kedirgantaraan, dan pertahanan, sangat bergantung pada produk logam tanah jarang (Rare Earth Metal).
Pembatasan ini menekan produsen AS dan China sangat pandai membalas dengan cara memanfaatkan kelemahan AS itu. Selain itu, China telah menambahkan perusahaan AS ke "daftar entitas yang tidak dapat diandalkan" dan memberlakukan kontrol ekspor pada barang-barang yang dibutuhkan AS sehingga AS semakin sulit mendapatkan akses ke rantai pasokan China.
Dukungan Politik Domestik: Para pemimpin China mendapat manfaat dari dukungan publik yang kuat untuk melawan AS, tidak seperti selama perang dagang 2018-19 ketika sentimen publik kurang bersatu.
Dukungan ini memungkinkan Beijing untuk mengambil sikap garis keras tanpa mempertaruhkan keresahan dalam negeri. Respon yang tenang dan terukur dari pejabat China termasuk dari media-media yang cenderung memaki atau mengejak.
Persepsi Kelemahan AS: China menganggap AS berada dalam posisi yang lebih lemah karena volatilitas pasar dan pengecualian dalam kebijakan tarif Trump.
Keputusan AS untuk membebaskan produk teknologi tinggi seperti telepon pintar dan semikonduktor dari tarif timbal balik, sementara masih menerapkan tarif fentanil sebesar 20%, telah ditafsirkan sebagai tanda ketergantungan AS pada manufaktur China.
Pengecualian tersebut menguntungkan raksasa teknologi AS seperti Apple, yang bergantung pada produksi China, dan telah menyebabkan beberapa pihak berpendapat bahwa AS lebih bersedia untuk tunduk daripada China.
Selain itu, gejolak pasar AS, termasuk penurunan pasar saham dan kenaikan imbal hasil Treasury, memberi kesan kepada China bahwa Trump berada di bawah tekanan untuk menstabilkan ekonomi, yang berpotensi memaksanya untuk mencari negosiasi terlebih dahulu.
Persiapan Jangka Panjang: China telah mempersiapkan diri untuk pertikaian dagang ini selama bertahun-tahun, mengantisipasi kebijakan perdagangan agresif Trump.
Analis mencatat bahwa Beijing telah membangun penyangga ekonomi, seperti merangsang permintaan domestik untuk mengimbangi dampak tarif, dan telah mengembangkan strategi untuk menahan ketegangan perdagangan yang berkepanjangan.
Persiapan ini kontras dengan AS, di mana kebijakan tarif telah menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian bagi bisnis, seperti yang disoroti oleh analis industri.
Kesabaran untuk Menunggu Negosiasi: China tampaknya memainkan permainan menunggu, percaya bahwa kepekaan Trump terhadap reaksi pasar dan tekanan politik akan memaksa AS untuk memulai pembicaraan.
Pejabat China telah menyatakan keterbukaan terhadap negosiasi tetapi hanya dengan syarat "kesetaraan, saling menghormati, dan timbal balik," yang menandakan mereka tidak akan membuat konsesi tanpa kompromi signifikan dari AS.
Hal ini menunjukkan bahwa China memandang kenaikan tarif Trump sebagai sesuatu yang tidak menentu dan China amat puas dengan permainannya yang membuat Amerika Serikat justru kebingungan.(*)