Oleh: Yusran Darmawan*
Angin timur berembus, mengguncang layar-layar putih yang terkembang di atas geladak. Sawerigading berdiri di buritan, menatap cakrawala yang tak bertepi. Laut beriak tenang, tetapi ia tahu, jauh di depan, ombak bisa tiba-tiba menggila.
Ia telah mengarungi samudra demi samudra, meninggalkan tanah Bugis, melewati badai, menghadapi ketidakpastian. Namun, seorang pelaut sejati tidak hanya mengandalkan peta—ia membaca bintang, mengikuti arus, dan mempercayai naluri.
BACA: Jamaluddin Jompa, Anak Laut yang Kembali ke Samudera Ilmu
Dalam banyak hal, kisah itu terus hidup. Di zaman yang berbeda, dalam samudra yang lain, ada mereka yang tetap percaya bahwa kepemimpinan adalah tentang membaca tanda-tanda, menghadapi angin, dan membawa kapal ke tujuan.
Salah satunya adalah Prof. Jamaluddin Jompa—nakhoda Universitas Hasanuddin (Unhas), yang membawa institusi ini berlayar di lautan ilmu dan perubahan.
Plato pernah berkata, “A city is what it is because our citizens are what they are.” Sebuah kota adalah cerminan dari manusia-manusia yang membangunnya. Begitu pula universitas.
Ia bukan gedung-gedung beton yang megah atau sekadar peringkat yang dipajang di dinding. Ia adalah manusia-manusia yang berpikir, bertanya, dan tak puas dengan jawaban yang mudah.
Sebagai ilmuwan kelautan, Prof. Jamaluddin tahu bahwa lautan lebih dari sekadar permukaannya yang biru. Ada arus bawah yang tak terlihat, ada ekosistem yang saling terhubung, ada keseimbangan yang harus dijaga.
Ia membawa pemahaman itu ke dalam kepemimpinannya. Unhas bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi ekosistem yang hidup. Dan seorang pemimpin, seperti seorang nakhoda, harus memahami arus sebelum menentukan arah.
Nietzsche pernah menulis, “One must still have chaos in oneself to be able to give birth to a dancing star.” Seseorang harus memiliki kekacauan dalam dirinya untuk bisa melahirkan sesuatu yang baru. Seperti Sawerigading yang mengarungi tujuh lautan, Unhas juga harus berani menghadapi tantangan, bukan hanya berlayar di perairan yang tenang.
Namun, seorang nakhoda tak bisa berlayar sendirian. Ia membutuhkan awak kapal yang setia, yang memahami tugasnya, yang percaya pada pemimpinnya.
Kepemimpinan bukan soal berdiri sendiri di geladak, tetapi soal bagaimana membawa semua orang bergerak ke arah yang sama.
“Dalam memimpin berbagai organisasi tersebut, salah satu kunci penting yang membuat saya merasa kuat menjalani dan menakhodai berbagai lembaga tersebut adalah dukungan orang-orang yang saya percaya,” ujar Prof. Jamaluddin.