MAKKAH, UNHAS.TV — Di tengah derasnya arus jemaah yang mengalir dari berbagai penjuru dunia menuju Tanah Suci, satu kartu kecil bernama Nusuk kini menjadi penentu sah tidaknya ibadah haji. Tak sekadar pelengkap administratif, kartu ini menjelma sebagai “paspor digital” yang wajib dibawa oleh setiap jemaah, termasuk dari Indonesia—negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia.
Kartu Nusuk menyimpan data biometrik, informasi akomodasi, hingga catatan medis. Kegunaannya sangat vital. Tanpa kartu ini, akses menuju tempat-tempat suci seperti Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah, Mina, hingga Raudhah di Masjid Nabawi, bisa tertutup. Otoritas Arab Saudi pun telah menegaskan bahwa kepemilikan kartu ini bersifat mutlak. “Tidak membawa kartu Nusuk berarti tidak memiliki izin haji yang sah,” tegas seorang petugas keamanan di pelataran Masjidil Haram.
Sejak diperkenalkan terbatas dua tahun lalu, pada musim haji 1445 H/2025 M, kartu Nusuk diberlakukan secara menyeluruh sebagai bagian dari transformasi digital ibadah haji.
Dari Sulawesi Selatan, Pendamping Siaga
Bagi para petugas pendamping haji dari daerah, seperti dari Sulawesi Selatan, tantangan tidak berhenti pada aspek teknis, tapi juga menyentuh sisi kemanusiaan. Ustaz H. Farid Kaimuddin, pembimbing ibadah dari kloter Makassar, menceritakan pentingnya pendampingan khusus bagi jemaah lansia. “Kami sudah membimbing sejak di tanah air. Kami tekankan agar kartu ini jangan sampai tertinggal, apalagi hilang,” ungkapnya di penginapan jemaah Sulsel di kawasan Misfalah, Mekah.
Untuk jemaah lansia atau yang kurang akrab dengan teknologi, tim khusus dibentuk agar mereka tetap bisa mendaftar ziarah Raudhah yang kini sepenuhnya dilakukan secara daring. “Semua serba digital sekarang, tapi ruh ibadah harus tetap dijaga,” tambah Ustaz Farid.

Pejabat Syarikah membagikan kartu Nusuk kepada jamaah haji Indonesia. Kredit: MCH 2025.
Kolaborasi Dua Negara
Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi bekerja sama dengan Kementerian Agama RI dan sejumlah penyedia layanan untuk mempercepat distribusi kartu Nusuk bagi jemaah Indonesia. Kepala Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Muchlis M Hanafi, menyebutkan bahwa hingga 14 Mei 2025, sebanyak 92.437 jemaah telah tiba di Saudi, namun sebagian di antaranya belum menerima kartu tersebut.
“Alhamdulillah, setelah dilakukan percepatan, distribusi dan aktivasi kartu Nusuk menunjukkan kemajuan yang signifikan,” kata Muchlis dalam keterangannya di Media Center Haji, Daker Madinah.
Bagi jemaah yang tiba di Mekah sebelum menerima kartu, otoritas tetap mengizinkan mereka menjalankan umrah wajib. Mereka akan dibantu oleh perwakilan penyedia layanan untuk memastikan prosesnya berjalan lancar. "Fokus kami bukan mencari siapa yang salah, tapi mencari solusi di lapangan," tambah Muchlis.
Harapan dan Tantangan Digitalisasi Ibadah
Modernisasi dalam pelaksanaan haji lewat kartu Nusuk membawa harapan besar: pengawasan lebih baik, pelacakan kondisi jemaah secara real-time, serta efisiensi layanan. Namun di balik itu, muncul pula tantangan, terutama soal kesenjangan literasi digital.
Nurhayati, salah satu tenaga pendamping wanita asal Bantaeng, menegaskan pentingnya edukasi sejak dari tanah air. “Jika sejak awal mereka sudah dilatih menggunakan aplikasi Nusuk, insya Allah semuanya lancar,” katanya.
Sebuah Kartu, Sebuah Zaman
Kementerian Agama menyebut kuota haji Indonesia untuk tahun 2025 adalah 221.000 jemaah, yang terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Bagi mereka, kartu Nusuk bukan hanya dokumen elektronik, melainkan penentu perjalanan spiritual—apakah mereka dapat menginjakkan kaki di Padang Arafah dan Raudhah, atau harus tertahan di pos pemeriksaan.
Di tengah modernitas yang menyelimuti ibadah haji, kartu ini hadir bukan untuk menggantikan esensi, tetapi memperkuat tata kelola. Pada akhirnya, haji tetaplah tentang satu hal: menyucikan diri di hadapan Sang Khalik—dengan segenap tubuh, jiwa, dan kini, juga identitas digital.(*)