Unhas Daily

Ketika Inovasi Menyentuh Nurani: Prof Ruslin dan 19 Mahakarya Mahasiswa Unhas



Di sisi lain, UKM Teater Unhas mengubah panggung menjadi medium edukasi. Melalui pertunjukan anti-bullying yang dipentaskan di sekolah dasar, mereka mengajak anak-anak menertawakan kekerasan, memaknai keberanian, dan menyuarakan diri dengan cara yang tak menggurui.

Ada pula Forum Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, yang mengembangkan model intervensi gizi dalam proyek Sipatokkong BerNutrisi. Program ini tidak hanya fokus pada angka stunting, tetapi mengakar pada pendekatan kultural: edukasi berbasis komunitas, pelatihan dapur sehat, dan partisipasi keluarga sebagai inti perubahan.

Dalam bidang lingkungan dan pemberdayaan ekonomi, Ma-Growth dari Fakultas Hukum mengambil langkah berbeda. Mereka memilih Pasar Terong sebagai lokasi intervensi dan mengembangkan sistem pengelolaan limbah organik berbasis maggot. Hasilnya adalah integrasi antara solusi lingkungan dan ekonomi sirkular yang melibatkan pedagang kecil dan pengelola pasar.

Seni Bertemu Sains, Empati Bertemu Rekayasa

Inovasi-inovasi ini tidak lahir di ruang hampa. Ia muncul dari observasi, pengamatan sosial, dan kemauan untuk mendekat. Mahasiswa bukan lagi sekadar subjek akademik, tetapi agen perubahan yang membawa kampus ke lapangan, dan membawa kembali pengalaman lapangan ke dalam ruang belajar.

“Mahasiswa kami tidak hanya bekerja dalam batas ilmu masing-masing,” jelas Prof Ruslin, “tapi belajar menjahit berbagai disiplin untuk merespons masalah nyata. Di situlah makna sejati dari integrasi pengetahuan.”

Beberapa proyek bahkan memperlihatkan keberanian untuk membongkar sekat antara teori dan praktik, antara sains dan seni, antara kampus dan kampung. Di pesisir Lae-Lae, UKMB FISIP menjalankan program Gerakan Pattuju Gassing—sebuah sinergi untuk menurunkan angka penyakit dan memperkuat kesadaran kesehatan masyarakat.

Di sana, mahasiswa belajar bahwa perubahan sosial tidak bisa datang dari atas ke bawah. Ia harus dibangun dari kepercayaan.

Inovasi sebagai Jalan Sunyi

Jika ada satu pelajaran dari Mahakarya 2025, maka itu adalah bahwa inovasi tidak harus spektakuler. Ia bisa sederhana, kecil, dan hening. Tapi ia harus tulus, dan ia harus dekat. Seperti kata Prof Ruslin, “Inovasi yang menyentuh nurani adalah yang paling tahan lama. Ia tidak memaksa. Ia menemani.”

Dalam dunia yang makin tergesa-gesa, Mahakarya adalah pengingat bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya tentang menyelesaikan kredit. Tapi tentang memahami tanggung jawab keilmuan yang lahir dari kesadaran sosial.

Dan mungkin, dari 19 gagasan itu, kelak akan tumbuh pemimpin-pemimpin masa depan—yang tidak hanya pandai berpikir, tapi juga tahu bagaimana mencintai sesama. Karena di akhir hari, ilmu yang paling berguna adalah yang bersentuhan dengan kehidupan.(*)