UNHAS.TV - Di tengah derasnya arus akademik yang kadang menjauh dari denyut kehidupan nyata, sekelompok mahasiswa Universitas Hasanuddin memilih jalur sebaliknya: mereka berjalan ke arah masyarakat. Membawa serta ilmu, empati, dan keberanian untuk bertanya: apa arti menjadi intelektual hari ini?
Program Mahakarya 2025 bukan sekadar daftar proposal dan pencairan dana. Ia adalah cermin—yang memantulkan wajah mahasiswa Unhas yang tidak sekadar ingin lulus, tapi ingin hadir. Hadir di tengah masalah, hadir membawa harapan.
"Mahakarya ini menunjukkan bahwa keilmuan bukan hanya milik ruang kelas. Ia mesti hidup dalam pergulatan sosial," ucap Prof. drg. Muhammad Ruslin, MKes, PhD, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas, dengan suara yang lebih bernada renungan ketimbang kebanggaan.
Sebanyak 19 proposal dari lembaga kemahasiswaan terpilih setelah seleksi ketat. Setiap proposal mendapat pendanaan Rp5 juta untuk diwujudkan dalam bentuk pengabdian masyarakat dari Juni hingga September 2025.
Tapi lebih dari itu, program ini adalah pelatihan kepekaan—tentang bagaimana ilmu bertemu luka sosial, dan bagaimana solusi lahir dari keterlibatan, bukan jarak.
BACA: Ini Daftar 19 Inovasi Mahasiswa Unhas
Direktur Kemahasiswaan Unhas, Dr. Abdullah Sanusi, turut menyampaikan apresiasinya atas semangat dan kualitas inovasi yang ditunjukkan mahasiswa.
“Proposal-proposal yang lolos tahun ini menunjukkan keberpihakan pada isu-isu strategis di masyarakat. Mahasiswa tidak hanya berteori, tetapi mereka hadir dengan solusi berbasis ilmu dan kreativitas. Mahakarya ini menjadi ruang di mana kampus benar-benar menyatu dengan denyut kehidupan rakyat,” ujarnya.
Jejak Kecil, Dampak Besar
Dari desa-desa pesisir yang kesulitan air bersih, hingga rumah singgah anak-anak pejuang kanker, mahasiswa Unhas hadir bukan sebagai penyuluh, tapi sebagai pembelajar. Mereka datang bukan untuk menggurui, tapi untuk mendengarkan.
Salah satu inovasi menonjol datang dari UKM SRE, yang membangun teknologi filtrasi air hemat energi untuk budidaya udang Vaname di pesisir. Di wilayah yang kerap mengalami krisis air bersih, teknologi ini menjelma bukan hanya sebagai alat, melainkan harapan.
BACA: Senyum yang Kembali: Perjalanan Prof Ruslin, Dari Tentara ke Bedah Mulut
Mahasiswa menghadirkan sistem yang ramah lingkungan, hemat energi, dan mampu menjawab kebutuhan petambak yang bergantung pada kualitas air.
Sementara itu, HIMASTA FMIPA merancang Senja – Sekolah Menyapa Dunia, sebuah bentuk sekolah portabel untuk anak-anak di rumah singgah dan komunitas pengungsi.
Bukan sekolah dalam arti formal, tetapi pengalaman belajar yang cair, kreatif, dan penuh empati. Mahasiswa hadir bukan sebagai pengajar tunggal, tapi fasilitator ruang tumbuh.