UNHAS.TV - Di ruang sunyi itu, suara menjadi petunjuk. Seorang pria datang ke klinik suara Universitas South Florida (USF), ditemani putrinya. Ia tak mengeluhkan nyeri dada atau sesak.
Hanya suara yang terdengar lebih lemah dari biasanya. Tapi bagi Yael Bensoussan, seorang laringolog sekaligus direktur Voice Center di USF Health, suara itu sudah cukup memberi alarm. “Kamu punya air di paru-parumu,” katanya, tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.
Ternyata benar. Pria itu menderita penyakit jantung yang menyebabkan pulmonary edema—penumpukan cairan di paru-paru. Satu liter air membanjiri ruang napasnya.
Tapi Bensoussan bukan peramal. Ia hanya punya telinga terlatih dan pengalaman panjang dalam membaca isyarat tubuh melalui suara. Kini, lewat kecanggihan kecerdasan buatan (AI), kemampuan itu tak lagi hanya milik spesialis. Mesin pun mulai bisa mendengar tanda-tanda penyakit.
Dalam dekade terakhir, para ilmuwan semakin yakin bahwa suara manusia menyimpan sidik gejala kesehatan. Seperti denyut nadi atau ritme napas, suara juga merupakan indikator biologis—atau biomarker. Bedanya, ia tak memerlukan tusukan jarum atau alat mahal. Hanya perekam suara dan seperangkat algoritma.
Suara terbentuk dari gabungan kerja paru-paru, laring, mulut, lidah, dan otak. Setiap gangguan pada bagian ini memunculkan jejak khas.
Menopause, misalnya, menurunkan kadar estrogen dan membuat pita suara mengerut, menghasilkan suara lebih serak dan rendah. Penyakit Parkinson menurunkan variasi intonasi dan kendali otot-otot pengucapan, sehingga suara terdengar monoton dan tidak artikulatif.
Bahkan, diabetes pun ternyata meninggalkan bekas dalam suara. Penelitian dari Luxembourg Institute of Health menunjukkan bahwa AI bisa mengenali penderita diabetes tipe 2 hanya dari cuplikan suara, dengan akurasi hingga 71 persen pada pria. “Saya tak bisa mendeteksi diabetes hanya dari mendengar suara,” kata Bensoussan, “tapi AI bisa.”
Bagi Rupal Patel, pakar patologi suara dari Northeastern University, suara adalah alat musik fisiologis yang amat sensitif. Penyakit jantung, misalnya, menyebabkan penumpukan cairan yang memperlambat getaran pita suara.
Hasilnya: suara yang lebih rendah dan napas yang pendek. Namun, sinyal dalam suara bukanlah satu nada yang berdiri sendiri. Ia merupakan simfoni dari banyak petunjuk kecil yang saling bersilangan.
Pikiran pun ikut bersuara. Depresi dan Alzheimer meninggalkan jejaknya dalam intonasi dan pilihan kata. Peter Foltz dari University of Colorado Boulder mengembangkan aplikasi yang menganalisis ritme, nada, dan pola bahasa untuk memantau kondisi psikologis pengguna.
Tujuannya bukan menggantikan psikiater, tapi menjadi pendamping yang bisa merekam perubahan secara berkala, tanpa invasif, tanpa stigma.
Namun diagnosis mental memiliki tantangan sendiri: ia berubah dari jam ke jam, dari hari ke hari. Brita Elvevåg, psikiater dari Universitas Arktik Norwegia, mencoba memahami bagaimana suara bisa memberi peringatan dini sebelum gangguan psikologis benar-benar menyerang.
“Kita tahu seseorang sedang cemas dari suaranya. Tapi bisakah kita tahu sebelum kecemasan itu tiba?” katanya.
Kini para ilmuwan membangun fondasi besar: sebuah bank suara manusia. Bersama Olivier Elemento dari Weill Cornell Medicine, Bensoussan memimpin proyek senilai USD 14 juta untuk merekam suara 10.000 orang.
Ini akan menjadi data publik yang bisa digunakan untuk melatih AI mendeteksi penyakit dari napas, batuk, atau suara mengucap huruf ‘e’.
Tapi data suara bukan hanya soal diagnosis. Ia menyimpan privasi. Bahkan ketika hanya berupa gambar spektrum gelombang suara (spectrogram), seorang peneliti MIT berhasil membaliknya kembali menjadi kalimat yang bisa dimengerti.
Tak heran, sebagian data kini dibatasi ketat. Sebab suara manusia, sebagaimana DNA, bukan sekadar data medis. Ia adalah identitas.
Bensoussan yakin: dalam lima tahun ke depan, teknologi ini akan masuk ke klinik-klinik. Bukan untuk menggantikan pemeriksaan, tapi sebagai alat bantu awal.
Seperti stetoskop digital yang bisa menembus batas waktu dan jarak. Mungkin suatu hari nanti, dokter tak lagi harus bertatap muka untuk tahu seseorang sakit. Cukup mendengar suara.
Namun ia juga tahu, ilmu bukan janji. “Kalau ini berhasil,” katanya pelan. Sebab di antara detak napas dan gema suara, kita sedang mencoba mendengarkan masa depan—dengan telinga mesin, dan harapan manusia.
Sumber: https://www.nature.com/articles/d41586-025-01598-8?utm_source=nature&utm_medium=collections-page