Lifestyle
Travel

Kisah Lirih Bekantan di Rimba Kalimantan

Di utara Kalimantan, terselip kisah mengenai suara-suara lirih yang berhembus di sela-sela rerimbunan mangrove. Kisah getir tentang mereka yang tersingkir dari hutannya, lalu belajar untuk survive di tengah perkampungan. Kisah para bekantan liar yang berdiam di hutan kecil di tengah kota lalu menjadi hiburan manusia yang lalu lalang.

***

Dia dipanggil John. Tubuhnya tinggi besar. Suaranya paling keras dan garang. Ketika ada yang mengancam kawannya, ia akan berada di posisi paling depan demi melindungi kawannya.

Tak ada satupun yang berani mengancam kelompok itu, selagi ada John di situ. Kecintaan John pada kelompoknya tak diragukan lagi. Jika ada rezeki atau makanan, John akan mempersilakan semua rekan-rekannya untuk mencicipi terlebih dahulu. Ia seorang pemimpin, pelayan, sekaligus pencinta sejati.

John yang dibahas di sini bukanlah seorang pemimpin geng. Ia adalah seekor bekantan (nasalis larvatus) yang memimpin kawanannya di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) di Tarakan, Kalimantan Utara.

Bersama sekitar 30-an bekantan lainnya, John tinggal di hutan kota berupa magrove seluas 22 hektar. Di hutan itu, John bukanlah satu-satunya pemimpin. Ada juga pemimpin lain bernama Michael yang punya ukuran tubuh sebesar dirinya.

Saya menyaksikan John saat berkunjung ke Tarakan, beberapa pekan silam. Bulunya tebal berwarna kuning keemasan. Pantas saja jika monyet ini disebut monyet Belanda, sebab bulunya pirang dan tebal.

Mulanya saya mengira dirinya mengenakan baju hangat. Ternyata, itu adalah bulu yang tumbuh alami. Berbeda dengan jenis monyet lain, John memiliki hidung yang besar, dan sesekali digerak-gerakkan. Sepintas, ia nampak seperti badut. Saya membayangkan kalau hidung itu dipencet, barangkali akan keluar suara-suara aneh.

“Hidung itu adalah kelebihan sekaligus kelemahannya. Kalau dia berkelahi dengan jenis monyet lain, maka kelemahannya adalah di hidung. Sekali hidung itu diremas, ia langsung kalah,” kata bapak yang bertugas sebagai penjaga taman konservasi itu.

Mungkin, kepindahan para bekantan ke mangrove adalah bagian dari proses survival. Jika mereka selalu kalah berkelahi dengan monyet lain, tentunya, mereka akan mencari kawasan atau hutan yang tak ditinggali monyet lain. Mangrove adalah pilihan, sebab medannya cukup sulit. Ada banyak duri, serta air laut yan menggenangi akar-akar mangrove saat air pasang.

Setelah berdiskusi dengan penjaga taman konservasi itu, saya mendapat fakta penting kalau bekantan sangat menyenangi pucuk daun bakau (Rhizophora Racemosa). Jika demikian halnya, pantas saja jika mangrove itu menjadi habitat. Ini serupa dengan koala yang menyenangi daun ekaliptus atau daun yang menghasilkan minyak kayu putih.

John dan Michael (foto: Yusran Darmawan)

Bagi saya, bertemu John adalah salah satu pengalaman paling membahagiakan. Di kota Jakarta, John adalah maskot dari Dunia Fantasi, satu wahana bermain paling ramai dikunjungi.

Wajah John dilukis di banyak tempat, dijadikan boneka, atau sekadar topeng yang kemudian menjadi kawan bermain. Namun menyaksikannya langsung di habitatnya jelas lebih membahagiakan.

Di sini, saya tidak sedang melihat bekantan sebagai penghibur, tetapi bekantan sebagaimana dirinya. Saya melihat langsung bagaimana hewan ini hidup bersama kawanannya bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain, lalu singgah ke satu panggung, yang di atasnya terdapat banyak pisang. Di situ, bekantan terlihat lebih bahagia, jika dibandingkan dengan hewan-hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.

Di kawasan ini, John bukanlah satu-satunya pemimpin kawanan. Dia bersaing dengan Michael, pemimpin kawanan bekantan lainnya. Jumlah total keseluruhan bekantan adalah 30-an, yang membagi wilayah itu menjadi dua.

Kelompok John dan kelompok Michael tidak saling menganggu. Hanya saja, ada saat tertentu di mana dua kelompok ini akan berkelahi. Berbeda dengan manusia, konflik para bekantan ini selalu berujung pada rekonsiliasi dan perdamaian.

Jika hendak berkunjung ke pusat konservasi ini, datanglah pada saat pagi ataupun sore. Biasanya di dua momen ini, para bekantan akan mendapat makanan tambahan berupa pisang. Jika anda datang bukan saat yang tepat, maka para bekantan tidak menampakkan diri. Mereka lebih memilih untuk berada di atas ranting pohon tinggi, yang kadang tak bisa dilihat dengan jelas.

“Bekantan ini adalah hewan pemalu. Mereka tak ingin menampakkan dirinya di depan manusia,” kata bapak yang menjadi penjaga taman konservasi ini. Dia juga bercerita bahwa pada awalnya, bekantan tidak betah di tempat itu.

Beberapa kali mereka kabur, hingga akhirnya ditangkap penduduk. Seiring waktu, bekantan mulai betah. Mugkin saja, mereka mulai mengalami zona nyaman, sebab di pusat koservasi itu makanan mereka terjamin. Mereka juga tak perlu khawatir pada ancaman manusia.

Nampaknya, manusia adalah ancaman terbesar bagi mereka. Setiap tahun, ruang hidup para bekantan ini semakin sempit. Laju deforestasi serta penetrasi industri semakin menggerus hutan-hutan mangrove di Kalimantan.

Manusia kian merambah hutan hingga lapis terdalam sehingga hewan-hean kian tak memiliki ruang untuk hidup. Para bekantan itu semaki terpinggirkan oleh peradaban manusia yang kian menghamba pada pengerukan materi serta penghancuran alam semesta.

Tak ada pilihan, para bekantan terpaksa hidup di ruang sempit bernama pusat konservasi. Tak ada lagi keriangan berkelana dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lain. Tak ada lagi hasrat petualangan menyusuri rimba magrove, demi menemukan rimba raya yang lain. Manusia semakin menggerus alam demi memenuhi keinginan pribadi yang semakin tak tertahankan.

***

SELAMA perjalanan di utara Kalimantan, saya membaca buku berjudul In Search of Middle Indonesia (terbitan KILTV dan Obor tahun 2016) yang dieditori Gerry Van Klinken. Buku ini menyediakan banyak kepingan etnografi yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di banyak kota-kota kecil, bagaimana dinamika penduduknya, hasrat paling kuat yang dominan di benak manusia-manusia di perkotaan.

John, bekantan di hutan mangrove Tarakan, Kalimantan Utara

Di beberapa bagian saya menemukan argumentasi tentang tumbuhnya kelas menengah yang menginginkan kehidupan yang jauh lebih mapan. Tentu saja, tak ada yang salah dengan keinginan untuk mapan, namun jika ditempuh dengan cara shortcut (jalan pintas) yang menjadikan institusi negara sebagai lahan untuk memenuhi gaya hidup, tentunya menimbulkan masalah.

Kelas menengah dipaksa berlari untuk memasuki satu sirkuit pencarian kemapanan, yang pemenangnya adalah mereka yang paling banyak memiliki materi.

Yang kemudian muncul adalah banyak kelas menengah yang berbondong-bondong memasuki arena politik demi mengamankan kepentingan bisnis, serta pemenuhan kebutuhan pribadi.

Desentralisasi dan politik lokal telah melahirkan satu kelompok kelas menengah yang memasuki rimba politik demi melegitimasi kepentingan pribadi. Hutan-hutan, sumberdaya, serta ekosistem dilihat serupa remah makanan yang kemudian dibagikan secara merata ke banyak pihak, mulai dari pejabat di level pusat, para mafia tanah, mafia tambang, hingga banyak aktor negara.

Demi kemakmuran, negara menjadi ruang yang harus dikuasai dan dikendalikan. Para pemodal lalu memasuki berbagai posisi pejabat publik demi mengendalikan regulasi dan mengatur paket proyek.

Jika gagal memasuki arena, maka mereka akan berusaha untuk menaikkan rekanannya, lalu mengendalikan berbagai paket proyek dan kebijakan demi menggapai kemakmuran serta kesejahteraan. Pada titik ini, hutan kita menjadi kue tart yang lalu dibagikan ke banyak pihak.

Entah kenapa, saya membayangkan nasib bekantan-bekantan ini. Saya membayangkan betapa tidak berdayanya mereka ketika berhadapan dengan kelas menengah kota yang semakin merambah ruang hidup mereka. Kalaupun para bekantan memasuki perkampungan, maka itu harus dilihat sebagai sebentuk protes atas kian terbatasnya ruang hidup mereka.

Kelak, suara bekantan yang lirih itu hanya akan menjadi nyanyi sunyi yang kian tenggelam seiring dengan kian tumbuhnya kelas-kelas baru di perkotaan yang punya akses pada sumber daya.

Kian rusaknya hutan, kian merambahnya perkebunan sawit, serta kian merajalelanya para pemilik modal yang punya kuasa dan mengendalikan alam hanyalah menjadi horor bagi para bekantan yang semata-mata bergantung pada kemurahan alam semesta. Ketika alam semesta ikut dikapling, adakah ruang hidup bagi para bekantan ini?

Saya sedih saat memikirkan kawanan John di masa mendatang.