Oleh: Yusran Darmawan*
Moana bukan lagi bocah lugu yang melakukan perjalanan bersama Maui. Kini, tiga tahun setelah film pertamanya, Moana sudah menjadi gadis yang tangguh dan pemberani, yang berkarib dengan samudera. Dia seorang way finder atau penunjuk jalan.
Saat dirinya bingung mengapa penduduk pulau itu tak berniat menjelajahi lautan, tiba-tiba saja dia didatangi oleh leluhurnya Tautai Vasa yang menyuruhnya berlayar ke Pulau Motufetu.
Maka dimulailah petualangan Moana bersama sejumlah kru, juga masih bersama ayam Hei Hei (entah berapa usia ayam ini), dan babi pink (kok sejak film pertama belum dipotong yaa). Moana kembali bertemu Maui lalu menghadapi Nalo, Dewa Badai.
Pihak Disney yang membuat Moana 2 sebelumnya melakukan riset mendalam untuk pembuatan film ini. Disney menurunkan sejumlah antropolog untuk menelusuri legenda, mitologi, serta kebiasaan-kebiasaan maritim orang Polinesia.
Polinesia adalah wilayah Oseania, yang mencakup lebih 1.000 pulau-pulau di sepanjang Samudera Pasifik. Orang Polinesia punya tradisi berlayar yang kuat dan memanfaatkan bintang sebagai alat navigasi di malam hari. Kemampuan ini juga dimiliki para pelaut Bugis Makassar.
Menonton film Moana 2 serasa membaca ulang bab demi bab buku The Voyage to Marege yang ditulis Campbell McKnight, akademisi dari Australian National University, mengenai perjalanan nenek moyang Makassar dalam mencari teripang di Marege (Australia).
Bahkan 70 tahun sebelum James Cook menemukan Australia, orang-orang Makassar lebih dulu hilir mudik di tanah Marage itu, berlayar hingga Selandia Baru dan gugusan Kepulauan Pasifik.