News
Program
Unhas Speak Up

Laut yang Tercemar, Ketika Ancaman Mikroplastik Menyusup ke Meja Makan Kita



Peneliti dan dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas Dr Ir Sinta Werorilangi MSc. (dok unhas.tv)


Sumber utama mikroplastik, kata Sinta, berasal dari aktivitas manusia sehari-hari. “Limbah rumah tangga menyumbang sebagian besar,” tegasnya.

“Plastik sekali pakai, botol, kantong kresek, bahkan serat pakaian sintetis ikut terbawa air cucian ke saluran pembuangan, lalu ke sungai dan berakhir di laut.”

Menurut riset MPRG, sekitar 90% sampah plastik yang mencemari laut berasal dari sungai. Artinya, masalah di laut sesungguhnya berawal dari daratan. Indonesia dengan ribuan sungai menjadi “pintu masuk” utama bagi polusi plastik ke perairan.

Namun, hingga kini belum ada standar baku mutu untuk mengukur tingkat pencemaran mikroplastik di Indonesia. “Kita bisa mengukur kadar logam atau pestisida karena ada ambang batasnya.

Tapi mikroplastik? Belum ada pedoman nasional,” kata Sinta. Akibatnya, penelitian di berbagai daerah hanya bisa membandingkan tingkat “kontaminasi” tanpa bisa menentukan apakah perairan itu sudah “tercemar berat”.

Hasil riset MPRG menunjukkan bahwa perairan Sulawesi Selatan sudah terkontaminasi mikroplastik, meski belum tergolong tercemar berat. “Kontaminasi berarti partikel plastik sudah ada di sana. Tapi mencemari artinya sudah memberi dampak nyata pada biota — dan itu masih terus kami teliti,” jelasnya.

Bahaya Tersembunyi di Piring Makan Kita

Dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia masih menjadi perdebatan, tapi indikasinya jelas mengkhawatirkan.

“Plastik mengandung zat aditif seperti Bisphenol A (BPA) dan PBDE (Polybrominated Diphenyl Ethers) yang berfungsi membuat plastik lentur dan tahan api,” terang Sinta. “Zat ini bisa bersifat karsinogenik, mengganggu sistem hormon, bahkan bersifat neurotoksik.”

Ketika mikroplastik masuk ke tubuh ikan, zat-zat ini berpindah ke jaringan biologis — dan berlanjut ke tubuh manusia saat dikonsumsi. “Penelitian sudah menunjukkan partikel mikroplastik ditemukan di jaringan darah, bahkan pada janin dan sistem otak,” ujarnya.

Sayangnya, tidak ada ciri fisik khusus yang bisa menandai biota laut yang sudah tercemar. “Kita tidak bisa tahu dengan mata telanjang,” ujar Sinta. “Kecuali dibedah dan dianalisis di laboratorium.”

Satu-satunya cara mengurangi risiko adalah dengan tidak mengonsumsi bagian isi perut ikan atau kerang, di mana partikel plastik biasanya terkumpul. “Kita tahu, orang Makassar suka makan palumara, dan bagian isi perut itu paling enak. Tapi di situlah mikroplastik bisa banyak menumpuk,” katanya sambil tersenyum getir.

Perjalanan riset mikroplastik Unhas bukan hanya soal ilmiah, tapi juga advokasi kebijakan. Temuan-temuan mereka telah menjadi rujukan bagi pemerintah dan lembaga internasional dalam menyusun strategi pengelolaan sampah laut.

“Data kami digunakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta KLHK untuk menyusun National Action Plan on Marine Debris,” ungkap Sinta. “Itu bukti bahwa penelitian kampus tidak berhenti di jurnal, tapi bisa menggerakkan kebijakan.”

Ke depan, MPRG Unhas berencana memperluas penelitian hingga ke aspek sosial-ekonomi — bagaimana dampak mikroplastik terhadap nelayan dan industri perikanan. “Kalau ikan-ikan kita dianggap tercemar, siapa yang rugi? Nelayan juga,” ujarnya.

Wawancara berakhir, tapi pesannya tertinggal lama di benak kita semua, bahwa krisis plastik bukan masalah lingkungan semata, melainkan juga masalah manusia.

“Setiap kali kita membuang plastik sembarangan, sesungguhnya kita sedang mengotori piring makan kita sendiri,” ujar Dr. Sinta menutup sesi dengan nada reflektif. (*)