News
Program
Unhas Speak Up

Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan: Transparansi yang Terlupa



TARIF PBB. Ketua Tax Center Universitas Hasanuddin, Prof Dr Muhammad Tahir Haning MSi saat hadir di program Unhas Speak Up di Unhas TV. Ia mengatakan masalah PBB bukan semata tarif naik atau tidak, persoalan mendasar adalah transparansi dan sosialisasi yang seringkali absen. (dok unhas.tv)



Menurut Tahir, menetapkan tarif pajak tidak bisa semata berdasar NJOP. Pemerintah daerah perlu mengacu pada asas keadilan dengan mempertimbangkan berbagai variabel: lokasi tanah, kondisi lingkungan, luas dan kualitas bangunan, hingga fungsi lahan.

“Tanah di jalan poros tentu berbeda dengan tanah di belakang gang,” ujarnya. “Bangunan besar dengan kolam renang tentu berbeda dengan rumah kayu sederhana.”

Asas keadilan ini juga mencakup subsidi silang. Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi bisa dikenakan tarif pajak yang lebih besar, sementara masyarakat berpenghasilan rendah dapat diberikan insentif berupa pengurangan atau pembebasan pajak.

“Seperti UKT di kampus,” Tahir memberi perumpamaan. “Orang kaya bayar mahal, orang miskin bayar murah. Tapi semua dapat fasilitas yang sama.”

Pemerintah daerah, lanjutnya, bisa menetapkan NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP) yang bervariasi sesuai kondisi ekonomi masyarakat. “Untuk orang kaya, NJOPTKP bisa diturunkan. Untuk masyarakat menengah ke bawah, bisa dinaikkan. Supaya beban pajak adil.”

Tahir mengingatkan, pajak—termasuk PBB—tak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi masyarakat. Pemerintah daerah harus mempertimbangkan daya beli dan lapangan kerja saat menetapkan tarif. “Kalau ekonomi belum pulih, jangan dipaksakan,” ujarnya.

Ia mengusulkan skema bertahap: tarif pajak boleh ditetapkan dalam peraturan daerah, tetapi implementasinya bisa ditunda hingga kondisi ekonomi membaik. “Jangan tutup mata dan telinga terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat,” tegasnya.

Salah satu kunci utama penguatan PBB, menurut Tahir, terletak pada database yang kuat. Banyak daerah, ujarnya, masih mengandalkan pencatatan manual yang tidak mencakup seluruh objek pajak. “Kalau database tidak lengkap, kebijakan pajak tidak akan adil,” katanya.

Padahal, dengan perkembangan teknologi digital dan satelit, pemetaan lahan bisa dilakukan secara menyeluruh. “Sekarang itu gampang,” ujarnya. “Kalau pemerintah daerah mau, tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak terdaftar.”

Dengan basis data yang akurat, pemerintah daerah bisa memperluas basis pajak tanpa harus menaikkan tarif. Pendapatan asli daerah pun meningkat tanpa menimbulkan gejolak sosial.

Pemerintah sebagai Pelayan Publik

Bagi Tahir, akar persoalan dari kegaduhan tarif PBB adalah cara pandang pemerintah terhadap masyarakat. “Pemerintah itu bukan penguasa,” tegasnya. “Pemerintah adalah pelayan publik.”

Ia mengingatkan, gaji dan tunjangan pejabat dibayar dari pajak rakyat. Maka, setiap kebijakan harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. “Tidak boleh sembunyi-sembunyi,” ujarnya. “Kalau pemerintah mau menaikkan tarif, jelaskan dulu kepada masyarakat. Untuk apa uang itu dipakai.”

Tahir memberi contoh: hasil pajak yang transparan dan terbukti dipakai untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas kesehatan, atau pendidikan, akan meningkatkan kepercayaan publik. “Kalau publik percaya, mereka akan patuh membayar pajak,” katanya. “Sebaliknya, kalau tidak percaya, resistensi akan muncul.”

Dalam penutupan perbincangan, Tahir menekankan satu kata kunci: transparansi. “PBB itu sebetulnya untuk kepentingan publik,” ujarnya. “Agar masyarakat percaya pada kebijakan pemerintah, harus ada transparansi dalam penetapan besarnya tarif dan tujuan penggunaannya.”

Transparansi ini, katanya, tak sekadar mengumumkan angka di papan pengumuman. Pemerintah daerah harus aktif menjelaskan, membuka data, dan melibatkan masyarakat—termasuk akademisi, media, dan tokoh masyarakat—dalam proses penetapan kebijakan. “Kalau semua dilibatkan, masyarakat akan merasa memiliki kebijakan itu,” ujarnya.

Dengan begitu, konflik akibat kenaikan PBB bisa dihindari. Pendapatan asli daerah tetap meningkat, pembangunan berjalan, dan masyarakat merasa dilayani, bukan dikejutkan.

Pajak Bumi dan Bangunan sejatinya bukan sekadar angka di lembar tagihan. Ia adalah salah satu fondasi fiskal pembangunan daerah.

Namun, seperti kata Prof. Tahir, fondasi ini akan goyah bila dibangun di atas ketertutupan. Pemerintah daerah harus belajar dari riak-riak protes di Pati dan Bone: tarif tinggi tanpa transparansi hanya akan melahirkan ketidakpercayaan. (*)