News
Program
Unhas Speak Up

Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan: Transparansi yang Terlupa

Ketua Tax Center Universitas Hasanuddin Prof Dr Muhammad Tahir Haning M.Si (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Di beberapa daerah, lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam hitungan bulan memicu gelombang protes masyarakat. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tarif PBB sempat melonjak hingga 250 persen.

Warga yang kaget dan tercekik oleh kenaikan tiba-tiba itu turun ke jalan, menggoyang kebijakan pemerintah daerah yang akhirnya terpaksa ditinjau ulang.

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Di berbagai penjuru Indonesia, suara-suara serupa menggema. Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mahasiswa mendemo wakil rakyat dan bupati. “Mengapa tarif naik setinggi itu, dan siapa yang memberi tahu kami sebelumnya?”

“Masalahnya bukan semata tarif naik atau tidak,” ujar Ketua Tax Center Universitas Hasanuddin, Prof Dr Muhammad Tahir Haning MSi dalam perbincangan di program Unhas Speak Up di Unhas TV. “Persoalan mendasarnya adalah transparansi dan sosialisasi yang seringkali absen.”

Menurutnya, PBB sesungguhnya dirancang sebagai instrumen untuk membangun daerah. Uang pajak yang dipungut dari warga kembali dalam bentuk infrastruktur, fasilitas publik, dan layanan masyarakat.

“Tapi kalau publik tidak tahu kenapa tarif itu dinaikkan, untuk apa, dan bagaimana penggunaannya, maka kepercayaan publik akan runtuh,” katanya.

Kenaikan tarif pajak, betapapun kecilnya, selalu sensitif di mata publik. Apalagi ketika melonjak hingga ratusan persen. Tahir mencontohkan beberapa daerah di Sulawesi Selatan yang mengalami ketegangan antara masyarakat dan pemerintah daerah karena kenaikan tarif PBB diumumkan tanpa peringatan.

“Di Bone itu heboh. Masyarakat berdemo, mencari bupati, meminta penjelasan. Padahal semua ini tidak perlu terjadi kalau pemerintah daerah melakukan sosialisasi lebih awal,” lanjutnya.

Ia mengingatkan, setiap kebijakan publik yang menyangkut kewajiban warga negara harus melalui uji publik—ruang dialog terbuka antara pembuat kebijakan dan masyarakat.

Dalam banyak kasus, pemerintah daerah cenderung mengambil jalan pintas: menetapkan tarif baru secara sepihak dan mengumumkannya di akhir proses. “Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba tarif naik sekian persen,” katanya. “Masyarakat kaget, lalu protes. Sederhana saja.”

Efisiensi Anggaran dan Jalan Pintas Daerah

Kebijakan menaikkan tarif PBB, menurut Tahir, juga tidak bisa dilepaskan dari realitas fiskal. Pemerintah pusat beberapa waktu terakhir melakukan efisiensi anggaran, termasuk mengurangi besaran transfer ke daerah.

“Efisiensi itu drastis. Kegiatan-kegiatan di daerah banyak yang dicancel,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin itu.

Bagi banyak pemerintah daerah, PBB menjadi jalan pintas untuk menutup celah fiskal. Namun, langkah instan itu kerap tanpa perhitungan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat.

“Seharusnya pemerintah daerah tidak panik,” ujarnya. “Jangan serta-merta menaikkan tarif PBB. Ada prosesnya. Panjang. Dan harus diperhitungkan daya tahan ekonomi masyarakat.”

Ia menyarankan pemerintah daerah memperluas basis pajak ketimbang langsung menaikkan tarif. “Masih banyak tanah-tanah kosong yang tidak masuk database pajak,” ujarnya. “Kalau database itu diperbaiki, tak sejengkal pun tanah yang luput, potensi PBB bisa naik tanpa membebani masyarakat.”

Pajak Bumi dan Bangunan pada awalnya berada di bawah kewenangan pemerintah pusat. Namun sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) disahkan, kewenangan penuh pengelolaan PBB resmi diserahkan kepada pemerintah daerah.

“Dulu 90 persen PBB diserahkan ke daerah, 10 persen ke pusat,” jelas Tahir. “Sekarang, 100 persen dikelola daerah.”

Kendati begitu, ada pagar pembatas yang ditetapkan pusat. Tarif maksimal PBB dibatasi 0,5 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Pemerintah daerah boleh menetapkan tarif di bawah batas itu, tapi tidak boleh melampauinya. “Masalahnya,” lanjut Tahir, “ketika NJOP dinaikkan tiba-tiba, otomatis tarif PBB ikut naik, meski tarif persentasenya tetap.”

Kenaikan NJOP ini, terutama di wilayah perkotaan yang berkembang pesat, membuat masyarakat kaget. Banyak pemilik tanah dan bangunan menerima tagihan pajak yang melonjak dua hingga tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. “Padahal bukan tarifnya yang naik, tapi nilai NJOP-nya,” katanya.

Asas Keadilan dan Variabel Penentu Tarif

>> Baca Selanjutnya