Pendidikan

Mahasiswa Ethiopia yang Kuliah di Unhas: Kalau Dijujurkan, Lebih Suka di Indonesia

MAKASSAR, UNHAS.TV - Mahasiswa asing yang kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka juga menghadapi perbedaan budaya belajar dan sistem kurikulum yang berbeda dari negara asal mereka. 

Bagaimana mereka menjalani perbedaan itu dalam perkuliahan mereka? Apakah tantangan ini membuat mereka semakin termotivasi atau justru menjadi hambatan?

Mustafa Alaswad, mahasiswa asal Palestina, mengaku sempat sangat kaget dengan di tahun-tahun awal perkuliahannya di Unhas. "Di negara saya, jika hujan turun maka kami tidak pergi kuliah. Ternyata di Indonesia, perkuliahan tetap berjalan walau hujan turun," kata Mustafa kepada Unhas TV.

Mustafa menambahkan, musim hujan di Palestina sangat berbeda di Indonesia. Musim hujan di Palestina bisa sampai setengah tahun dan curah hujannya sedikit. "Hujan deras turun 2-3 hari saja, makanya kami meliburkan diri," katanya.

Pada awalnya, perbedaan budaya belajar di Indonesia membuat Mustafa kesulitan menyesuaikan diri. Namun, ia mengaku berkuliah di Unhas adalah pengalaman menyenangkan.

Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Tashfeen Amir, mahasiswa Fakultas Kedokteran asal Pakistan. "Totally different. Di Unhas, ketika dosen memberi kuliah mengenai "bug" maka yang didatangkan "bug" yang asli. Lalu, besoknya, kami dusuruh mencari," ujar Tashfeen.

Selain sisi akademik, adaptasi terhadap budaya kuliner menjadi pengalaman menarik. Banyak mahasiswa internasional mulai menyukai makanan khas Indonesia yang memperkuat ikatan mereka dengan budaya lokal.

Suayb Jama, mahasiswa Fakultas Kedokteran asal Ethiopia, satu di antara sekian mahasiswa internasional yang lebih menonjol dibanding rekan-rekannya. Cara berbicaranya sudah seperti warga Makassar. Dia bahkan sudah bisa berlogat ala Jakarta.

"Menurut gue, kuliah di Unhas itu beda sekali. Di Unhas, perkuliahan bisa dimulai dari pagi sampai sore. Tapi di negaraku Ethiopia, perkuliahan dibagi waktu pagi dan sore, mahasiswa bebas memilih," ujarnya.

Ia menambahkan, dosen-dosen di Ethiopia hanya memberi 10 persen mata kuliah, selebihnya tugas mahasiswa untuk mencari selebihnya. Di Indonesia, dosen justru memberikan 40 sampai 60 persen mata kuliah, selebihnya tugas mahasiswa. 

"Kalau dijujurkan, saya lebih suka di Indonesia," katanya terseyum.

Berkat dukungan teman-teman kuliah hingga pengalaman belajar yang berharga, mahasiswa internasional di Unhas telah menunjukkan kemampuan luar biasa menyesuaikan diri. Mereka tidak hanya betah di kampus tetapi juga menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar.(*)


Rizka Amalia Fraja (Unhas TV)