News
Program
Unhas Story

Matematika Bukan Pelajaran Rumit di Mata Acthasain, Dari Skor 1000 UTBK hingga Panggung Clash of Champions



Acthasain Putra Suhardi, Mahasiswa Pendidikan Dokter Unhas, 16 Besar Clash of Champions (COC). (dok unhas.tv)


Saat UTBK 2024 tiba, Zain memutuskan untuk mempersiapkan diri hanya satu bulan penuh. Tapi bulan itu diisi dengan ritme ekstrem, yakni belajar malam, tidur pagi, dan bangun sore.

“Belajarnya full dengan try out setiap malam. Habis itu baca pembahasan satu per satu,” katanya.

Ia menyadari, kebiasaannya bukan metode sehat, tapi efektif untuknya. “Aku tipe yang cuma bisa fokus kalau dunia udah tenang. Tengah malam itu kayak waktu terbaik buat mikir,” ujarnya.

Hasilnya tak main-main. Ketika pengumuman skor UTBK keluar, layar menampilkan angka sempurna. Nilai 1000 untuk Penalaran Matematika.

“Awalnya kaget banget,” ujarnya. “Aku malah yakin yang 1000 bakal di Pengetahuan Kuantitatif. Tapi ternyata yang 1000 justru Penalaran Matematika,” sebutnya dengan 'bungah'.

Lucunya, ia mengaku beberapa soal dikerjakan dengan “insting matematikawan.” “Ada dua-tiga soal terakhir aku enggak baca lengkap. Cuma lihat angka, terus nebak pola,” katanya sambil tertawa.

Clash of Champions: Satu Nyawa dari Timur

Bagaimana dengan kisahnya di turnamen Matematika Clash of Champions atau COC yang dihelat oleh sebuah platform pembelajaran digital Ruang Guru? 

Awal 2025, Zain mendapat pesan tak terduga: tawaran untuk mewakili Universitas Hasanuddin dalam Clash of Champions (COC) Season 2. Ia sempat ragu. “Aku nonton season 1, liat pesertanya dari UGM, UI, bahkan luar negeri. Kayaknya mustahil,” kenangnya.

Tapi ia punya rasa penasaran untuk menang. Ia menerima tantangan itu. “Ya udah, coba aja. Toh enggak ada ruginya,” katanya.

Di Jakarta, ia berhadapan dengan para peserta dari universitas top nasional dan internasional. Sedangkan dia dari 'kampung', Kabupaten Bone. Ketika panitia menyebut nama-nama dari Oxford dan NUS, Zain mengaku “sempat ciut.”

“Tapi di situ aku sadar, semua orang punya peluang yang sama. Enggak ada yang kebal gugur cuma karena kampusnya terkenal,” katanya.

Sebagai satu-satunya wakil Unhas, Zain membawa “satu nyawa” bagi kampusnya. “Rata-rata universitas lain kirim empat orang, aku sendirian. Jadi harus benar-benar maksimal,” ujarnya.

Pertandingan berlangsung selama seminggu. Di antara babak-babak penuh tekanan, ada satu momen yang paling diingatnya, ketika 40 peserta tambahan diumumkan tiba-tiba. “Kami semua kaget. Kirain cuma 40 orang, ternyata 80,” katanya.

Namun Zain bertahan. Ia menaklukkan tantangan demi tantangan. Mulai dari hitung cepat, problem solving, hingga strategi tim.

“Soal paling gampang itu yang hitung balok. Aku brute force aja, hitung manual,” ujarnya santai. “Tapi yang paling susah itu Harmonic Math pertama. Aku sampai tiga kali ngulang hitungan karena parno salah.”

Di tengah tekanan kompetisi COC, Zain menemukan teman-teman baru dari luar pulau. Salah satunya Muhammad dari Universitas Udayana, yang pertama kali mengenali jaket almamater merah Unhas.

“Dia bilang, ‘Oh, kamu dari Unhas ya?’ Orang lain enggak tahu. Mungkin sama-sama dari Timur. Jadi aku langsung dekat sama dia,” katanya.

Kehangatan itu tumbuh juga dengan anggota timnya di COC: Rama, Deo, dan Ario—sesama anak Makassar yang memperkuat chemistry tim. “Kami langsung nyatu aja,” ujarnya. “Kayak irama yang ketemu nadanya.”

Setelah kompetisi usai, grup obrolan mereka masih aktif hingga kini. “Masih sering ngobrol, tukar cerita, bahkan ngerjain soal bareng,” katanya sambil tersenyum.

Tentang Menang dan Belajar

Bagi Zain, kemenangan bukan soal medali atau peringkat. “Aku cuma enggak mau gagal di ronde pertama,” katanya sederhana.

Tapi ketika namanya memang terus disebut, melaju hingga bertahan di Top 16. Zain tahu, perjuangan panjangnya tak sia-sia.

Kini, di sela-sela padatnya kuliah kedokteran, Zain sesekali masih membuka buku-buku matematika. Ia memandang angka seperti teman lama yang selalu mengingatkannya untuk berpikir jernih.

“Matematika ngajarin aku satu hal,” katanya pelan. “Bahwa semua masalah, betapa pun rumitnya, pasti punya solusi. Asal kita sabar mencari,” lanjut lelaki yang kini aktif di Ruang Guru. 

Namun demikian, di kamarnya, di atas meja belajar, catatan anatomi, pelajaran fisiologi, tetap akan menemaninya.

Antara tulang dan rumus, Zain seolah hidup di dua dunia yang tampak berbeda, tapi dihubungkan oleh satu hal yang sama, yakni rasa ingin tahu.

“Kadang orang pikir matematika dan kedokteran itu jauh banget,” ujarnya. “Padahal keduanya tentang memahami sistem, entah tubuh manusia, entah dunia angka.”

Zain menutup dengan kutipan, “Kalau matematika ngajarin logika, kedokteran ngajarin empati.” “Dan dua-duanya sama pentingnya buat hidup,” katanya.

(Zahra Tsabitha Sucheng/Unhas.TV)