BLITAR, UNHAS.TV - Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri kembali mengungkap luka sejarah keluarga besarnya dalam seminar internasional memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025).
Di hadapan akademisi dan delegasi dari 30 negara, Megawati menyampaikan pernyataan pedas mengenai penolakan pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto terhadap permintaan keluarga untuk memakamkan jenazah ayahnya, Presiden pertama RI Soekarno, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
"Hanya untuk dimakamkan saja susahnya bukan main. Makanya kenapa beliau tidak seperti biasanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi beliau dimakamkan di sini," ujar Megawati dengan nada pilu, merujuk pada makam Bung Karno di Blitar yang awalnya merupakan TMP bagi prajurit Pembela Tanah Air (PETA) yang gugur melawan penjajah Belanda.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara yang disiarkan melalui kanal YouTube PDI Perjuangan pada Sabtu (1/11/2025). Megawati menjelaskan bahwa setelah Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, keluarga besarnya berjuang keras agar pemakaman dilakukan secara layak dan sesuai wasiat.
Bung Karno sendiri pernah menyatakan keinginannya dimakamkan di daerah Priangan, seperti di sekitar Istana Bogor, di bawah pohon rindang dengan gemericik air sungai.
Namun, rezim Orde Baru menolak keras usulan tersebut, termasuk permintaan untuk TMP Kalibata yang menjadi standar bagi para pahlawan nasional. "Pada waktu itu pemerintahan begitu keras, jadi seluruh keluarga akhirnya merelakan untuk dimakamkan di sini," tambahnya, menggambarkan tekanan politik yang tak tertahankan.
Lokasi pemakaman di Blitar dipilih atas Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1970, dengan alasan agar jenazah Bung Karno disandingkan dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Namun, para sejarawan menilai keputusan ini lebih didorong oleh naluri politik Soeharto untuk menjauhkan simbol perjuangan kemerdekaan dari pusat kekuasaan di Jakarta, guna meredam potensi gejolak massa pendukung Soekarno.
"Situasi politik saat itu tidak memungkinkan, karena itu akan bertentangan dengan kehendak rakyat," kata Megawati, mengutip sikap rezim saat itu.
Meski demikian, pemakaman Bung Karno di Blitar justru menjadi simbol perlawanan. Ratusan ribu rakyat berbondong-bondong hadir meski dijaga ketat militer, menunjukkan cinta mendalam terhadap Proklamator Kemerdekaan.
Kompleks makam yang awalnya bernama "Taman Bahagia" kemudian dipugar pada 1978 dan diresmikan sebagai Makam Bung Karno pada 1979 oleh Soeharto sendiri.
Kini, makam ini menjadi objek ziarah politik, dengan perpustakaan yang diresmikan Megawati pada 2004 sebagai upaya melestarikan warisan ayahnya.
Pernyataan Megawati ini menggema di tengah diskusi global tentang warisan KAA, di mana ia menekankan pentingnya menghormati sejarah tanpa distorsi politik.
"Ini sebetulnya dulu taman pahlawan dari banyak prajurit kami... tempat ini kecil dan tidak terpelihara, tapi kini menjadi saksi bisu perjuangan," tutupnya.
Seminar ini dihadiri tokoh seperti Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang juga sempat ziarah ke makam Bung Karno, memperkuat pesan persatuan nasional di atas luka masa lalu.
Pernyataan Megawati menuai tanggapan beragam di media sosial, dengan banyak netizen memuji keberaniannya membuka tabir sejarah yang selama ini tertutup. PDI Perjuangan menyatakan akan menggelar diskusi lanjutan untuk mengenang perjuangan Bung Karno.(*)


-300x183.webp)





