Makassar
News
Pojok Publik
Program

Mencari Jalan Menuju Makassar Zero Waste 2029, Belajar dari Makassar Ecocircular Hub



Kabid Persampahan Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas DLH Kota Makassar Dr Bau Asseng ST MSi. (dok unhas tv)


Berbeda lagi dengan klaster Untia, sebuah kampung nelayan di wilayah pesisir. Di sini, setiap rumah tangga dibagikan ember khusus untuk menampung sampah organik.

Sampah tersebut dibawa ke pusat klaster dan diolah menjadi kompos melalui sistem berlapis—atau yang disebut burger, karena bentuknya seperti tumpukan lapisan.

“Daun kering dan sampah organik dilapis-lapis, dipindah ke kotak berikutnya jika sudah penuh. Dalam satu bulan sudah mulai terbentuk kompos,” ujar alumnus teknik elektro Unhas ini

Model berlapis ini relevan bagi masyarakat pesisir yang memiliki ruang terbatas, tetapi menghasilkan sampah organik cukup banyak dari aktivitas harian maupun perikanan.

Respons masyarakat, menurut Bau Aseng, cukup baik. Bahkan beberapa kawasan di luar klaster percontohan mulai tertarik menerapkan model serupa, terutama karena ada insentif.

“Ketika mereka mengurangi sampahnya, retribusi juga berkurang,” ujarnya. “Karena yang dibayar itu hanya residunya.”

Model retribusi berbasis timbulan sampah ini menjadi dorongan tambahan. Bukit Baruga, misalnya, telah meneken MoU untuk menerapkan pengolahan sampah mandiri di kawasan yang memiliki lebih dari 800 unit rumah itu.

Sementara itu wilayah Kima, kawasan industri di pinggiran kota, menjadi fokus berikutnya. Di situ, sampah industri cukup besar dan sebagian merupakan organik dari kegiatan pabrik makanan, kantin, dan pengolahan bahan baku.

“Kita sedang mempersiapkan pengelolaan magot yang kapasitasnya bisa lebih besar dari Panakukkang,” jelas Bau Aseng. “Karena kebutuhan penanganannya juga besar.”

Jika rencana ini berjalan, Kima akan menjadi salah satu pusat pemrosesan organik terbesar di Makassar, sekaligus penyedia magot bagi industri pakan ikan dan ternak—menguatkan sisi ekonomi sirkular yang menjadi tujuan jangka panjang.

Tantangan Terberat: Mengubah Kebiasaan Lama

Namun di tengah berbagai inovasi dan capaian awal, satu tantangan tetap berdiri kokoh: perilaku.

“Kita sudah banyak yang bilang, ‘Saya sudah pilah, tapi nanti dicampur juga di mobil pengangkut,’” tutur Bau Aseng. “Ini yang kita perbaiki sekarang.”

Pemerintah mulai mendorong seluruh pengangkut sampah—baik kendaraan Viar maupun roda tiga—untuk dilengkapi gentong atau ember pemisah. Wadah itu harus terlihat jelas oleh warga sehingga proses pemilahan tidak berhenti di rumah, tetapi berlanjut ke titik angkut.

“Perubahan ini bertahap,” katanya. “Masyarakat harus melihat dulu contohnya.”

Karena itu, pada bulan pertama pelaksanaan program, pemerintah fokus memperkuat internal klaster: melengkapi sarana, menghadirkan SDM pendamping, dan memastikan proses pemilahan berjalan mulus. Setelah itu barulah edukasi besar-besaran ke masyarakat dilakukan.

Makassar Ecocircular Hub bukan satu-satunya upaya, tetapi menjadi simpul penting dari strategi besar menuju Makassar Zero Waste 2029. Pemerintah kota telah membawa seluruh kecamatan dan kelurahan berkunjung ke klaster percontohan untuk belajar secara langsung.

“Mereka harus bisa mengadopsi apa yang mereka lihat, lalu membawa pulang ke wilayahnya masing-masing,” ujar Bau Aseng.

Setelah melihat langsung, beberapa kelurahan dilaporkan mulai menyiapkan lubang kompos, memulai bank sampah, atau membentuk kelompok pengolah organik sederhana. Polanya belum seragam, tetapi justru itulah ciri ekonomi sirkular: tumbuh sesuai karakter wilayah.

Di awal perbincangan di studio, Bau Aseng kembali menekankan prinsip dasar yang harus ada dalam gerakan ini.

“Gerakan pilah sampah itu harus menjadi kewajiban kita bersama. Sampahku tanggung jawabku, sampahmu tanggung jawabmu,” ujarnya.

Makassar Ecocircular Hub hanya jembatan. Rumah tangga tetap menjadi garda depan. Tanpa pemilahan di rumah, teknologi secanggih apa pun akan lumpuh di ujung jalan.

Di banyak tempat, perubahan kecil itu mulai terlihat: ember-ember di samping roda tiga, kotak-kotak kompos di kampung nelayan, dan tumpukan magot yang menggerumuti sisa makanan di ruang agrofarm.

Semua itu, meski kecil, senyap, tetapi pelan-pelan bakal menggeser arah kota menuju masa depan yang lebih bersih.

Di kota yang diapit laut dan rawa ini, sampah pernah hanya dianggap sebagai masalah teknis. Kini ia berubah menjadi ruang kolaborasi, ruang belajar, dan ruang masa depan.

Makassar tengah berusaha menemukan jalannya menuju zero waste. Tidak dengan satu gebrakan besar, tetapi dengan ribuan tindakan kecil yang tumbuh dari kampung-kampung. Dan perjalanan itu, seperti kata Bau Aseng, “baru dimulai.” (*)