UNHAS.TV - Pada suatu pagi yang lembab di Kota Makassar, barisan motor tiga roda berhenti satu per satu di tepi BTN Paropo, Jalan Hj Saripah Raya, Kecamatan Panakkukang.
Pengemudinya turun sambil memeriksa ember-ember yang tergantung di titik penjemputan sampah warga. Ember itu bukan sembarang wadah, di situlah masyarakat diminta menaruh sampah organik dan anorganik secara terpisah.
“Di sini, sampah warga sudah tidak diangkut lagi jika tidak dipilah,” kata Dr Bau Aseng ST MSi, Kepala Bidang Persampahan, Limbah B3, dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar.
“Yang utama, dipisah dua dulu saja, organik dan anorganik. Itu langkah pertama yang paling penting,” lanjut sarjana teknik Unhas ini dalam program siniar Pojok Publik di Unhas TV, Kamis (27/11/2025) lalu.
Instruksi sederhana itu menjadi pembuka bagi perubahan besar yang kini tengah ditempuh Kota Makassar.
Pemerintah Kota menargetkan Makassar Zero Waste 2029, sebuah langkah yang menuntut perubahan paradigma pengelolaan sampah dari sekadar kumpul–angkut–buang menjadi model ekonomi sirkular yang menahan sampah sejak dari sumbernya.
Salah satu mesinnya adalah Makassar Ecocircular Hub, program yang baru diluncurkan dan kini menjadi laboratorium hidup bagi berbagai inovasi pengolahan sampah tingkat kota.
Bau Aseng menyebut Makassar Ecocircular Hub sebagai “ruang kolaborasi untuk semua”. Di dalamnya berkumpul unsur akademisi, pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
“Ini wadah untuk belajar, berkolaborasi, dan melihat langsung bagaimana pengelolaan sampah yang benar,” ujarnya.
Model hub ini dipilih setelah tim DLH Kota Makassar melakukan rangkaian studi banding ke beberapa daerah, termasuk Bali dan Malang.
Dari sana mereka melihat berbagai model yang bisa diadopsi, mulai dari urban composting, urban farming, hingga sistem pengelolaan berbasis maggot atau larva lalat tentara hitam—yang dikenal rakus terhadap sampah organik.
“Kita belajar juga dari Bali, misalnya teba modern, lubang kompos yang sangat efektif menahan sampah organik di tingkat RW. Karena masalah kita jelas: TPA Tamangapa sudah menggunung,” kata Bau Aseng.
Setiap hari, sekitar 800 ton sampah masuk ke TPA Tamangapa. Dari jumlah itu, 54 persen merupakan sampah organik. Artinya, jika langkah pengurangan di sumber berjalan efektif, 400 ton sampah organik bisa ditahan sebelum sampai di puncak landfill yang kian sempit itu.
Belajar dari Klaster: Dari Kopi hingga Pisang
Di Makassar, sejumlah klaster percontohan mulai diperkuat. Salah satunya berada di TPS3R Karebosi, Kelurahan Baru. Kawasan itu menjadi pusat pengelolaan sampah berbasis HOREKA—hotel, restoran, dan kafe—yang menghasilkan limbah kopi dalam jumlah besar.
“Di sana ampas kopi dikombinasikan dengan kulit pisang yang banyak ditemukan di kawasan pantai,” ujar Bau Aseng. “Hasilnya kompos yang sangat kaya nutrisi.”
Di Mariso, Kecamatan Panambungan, pola yang berbeda diterapkan. Di wilayah ini, sampah pangkasan pohon menjadi bahan baku utama.
Ranting dan daun dicacah lalu dicampur dengan kotoran hewan untuk menghasilkan kompos. “Pertumbuhan tanaman dengan kompos itu sangat cepat. Saya sudah coba sendiri,” kata lulusan magister Pengelolaan Lingkungan Hidup Unhas ini.
Adapun di Panakukkang, klaster urban agrofarm menjadi sorotan karena kapasitas penguraian sampah organiknya mencapai 1,5 ton per hari, dengan potensi hingga 5 ton. Motor utama di klaster ini adalah magot.
“Magot itu rakus sekali,” ujar Bau Aseng. “Satu kilo magot bisa menghabisi 10 hingga 15 kilo sampah organik. Kemarin saja mereka kekurangan sampah.”
Kekurangan itu bukan karena sampah Makassar berkurang, melainkan karena mesin penguraian di klaster Panakukkang bekerja lebih cepat dari suplai sampah organik yang masuk.
Pemerintah kelurahan dan kecamatan kemudian diminta membantu mengumpulkan sampah dari pasar-pasar sekitar sebagai penyangga harian.
Di Kampung Nelayan, Ember Menjadi Senjata Baru
>> Baca Selanjutnya
Kabid Persampahan Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas DLH Kota Makassar Dr Bau Asseng ST MSi. (dok unhas tv)







-300x200.webp)
