News
Opini

Mengapa Alumni Teknik Bisa jadi Menteri Keuangan, Kesehatan, Hingga Pemimpin Politik?





Seperti pernah diperingatkan Karl Popper, “Politik bukan soal siapa yang memerintah, melainkan bagaimana kita mencegah mereka berbuat terlalu banyak kerusakan.” 

Kalimat ini menegaskan bahwa politik pada hakikatnya berurusan dengan manusia, dengan risiko, dan dengan nilai-nilai kebebasan. Bukan sekadar angka yang bisa disusun dalam grafik atau rumus optimasi.

Dominasi alumni teknik di kabinet Prabowo adalah pengakuan terhadap relevansi pola pikir mereka dalam menghadapi wicked problems zaman ini. Namun keberhasilan mereka akan ditentukan oleh sejauh mana logika teknik berpadu dengan kepekaan sosial.

Pertanyaannya bukan lagi “Mengapa orang teknik bisa jadi menteri?”, melainkan “Bisakah mereka melengkapi nalar teknis dengan rasa kemanusiaan?”.

Sebab politik, pada akhirnya, bukan sekadar soal angka, sistem, atau efisiensi. Politik adalah tentang manusia, dengan segala kerumitan, emosi, dan aspirasinya. Ketika terlalu banyak alumni teknik mendominasi, ada risiko dimensi manusia terabaikan. 

Di ruang kuliah, insinyur dibesarkan dalam kultur kepastian: satu tambah satu harus selalu dua, struktur harus kokoh sesuai hitungan, algoritma akan menghasilkan keluaran yang sama sepanjang inputnya sama.

Politik bekerja dengan logika berbeda. Emosi massa bisa berubah dalam sekejap, legitimasi pemimpin sering ditentukan oleh rasa keadilan, dan kebijakan yang benar secara teknis bisa gagal bila tidak adil secara sosial.

Sejarah memberi banyak contoh. Relokasi warga demi proyek infrastruktur sering dikalkulasi sebatas biaya ganti rugi, tanpa menimbang trauma sosial dan hilangnya ikatan komunitas.

Program kesehatan yang tampak cemerlang dalam angka partisipasi vaksinasi bisa tersendat karena tak memperhitungkan budaya, keyakinan, atau cara komunikasi masyarakat.

Politik, dengan demikian, bukan hanya tentang menyelesaikan masalah, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan.

Rakyat tidak hidup dalam grafik pertumbuhan, melainkan dalam keseharian yang dipenuhi rasa takut, kebanggaan, dan mimpi. Di sinilah para insinyur yang kini berkuasa diuji: apakah mereka sanggup melihat melampaui angka dan sistem menuju manusia yang mereka layani.

Seperti kata Popper, inti dari politik adalah mencegah kerusakan yang lebih besar. Dan Zygmunt Bauman menambahkan, “Politik yang tidak berwajah manusia akan selalu gagal, sebab manusia bukanlah objek yang bisa diatur, melainkan subjek yang penuh kerinduan, ketakutan, dan harapan.”

Dalam konteks Indonesia hari ini, tantangan itu berarti membangun negara yang tidak hanya efisien seperti mesin, tetapi juga hangat, adil, dan manusiawi. Karena bila hanya logika yang memimpin tanpa empati, maka pembangunan akan berdiri kokoh di atas kertas, namun rapuh di hati rakyatnya.

Pertanyaan terakhir, mengapa banyak alumni Teknik dari ITB di Kabinet Prabowo-Gibran? Ini pertanyaan menarik, namun sepertinya kita butuh satu tulisan sendiri untuk menjawabnya. Maafkan.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat