MAKASSAR, UNHAS.TV - Banyak orangtua yang hidup di Generasi Baby Boomer atau Millennium bingung menghadapi anak mereka. Sebagian mengaku kesulitan membaca arah dan pandangan remaja yang mereka nilai sangat jauh dari sikap tangguh, pantang menyerah, dan pandai mencari jalan keluar.
Anak-anak zaman sekarang dipandang lebih mudah putus asa dan tak berdaya. Mungkin karena mereka hidup dengan berbagai kemudahan sehingga tidak terbiasa menghadapi problem.
Penelitian bertajuk Youth Risk Behavior Survei yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat pada tahun 2023 menemukan fakta bahwa sekitar 40 persen anak-anak sekolah sering mereka sedih, kehilangan harapan, dan mengalami gangguan kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi 10 persen dibanding survei serupa pada tahun lalu.
Riset tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, pada 2020 yang melibatkan 393 responden berusia 16-24 tahun juga menemukan fakta serupa: anak zaman sekarang rentang dengan kesehatan mental.
Temuan itu juga menguatkan temuan Badan Kesehatan Duia (World Health Organization, WHO) yang mengatakan 1 dari 4 remaja usia remaja menderita gangguan kesehatan jiwa.
Sebanyak 95,4 persen mengaku pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety) dan 88 persen pernah mengalami gejala depresi menghadapi masalah selama di usia mereka. Sebanyakk 96,4 persen juga menyatakan kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.
Fakta yang mengagetkan, sebanyak 51,4 persen mengaku sering menyakiti diri sendiri demi mengatasi masalah itu. Adapun yang memilih menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup sebanyak 57,8 persen.
Matt Richtel, wartawan yang berfokus pada kesehatan mental remaja pernah melakukan penelitian selama 4 tahun demi menuntaskan bukunya yang berjudul How We Grow Up: Understanding Adolescence.
Pada buku itu, Matt menjelaskan betapa generasi muda saat ini justru lebih banyak menghadapi masalah mental dibanding generasi pendahulu mereka. Penyebab utamanya adalah cepatnya perubahan zaman dan berlimpahnya informasi yang kemudian membebani kehidupan remaja. Pada saat yang sama, anak-anak remaja tak kuasa mengimbangi perubahan itu.
Atas temuan itu, Matt merekomendasikan agar remaja dijauhkan dengan telepon seluler yang dinilai terlalu mendominasi kehidupan remaja. Telepon seluler menjauhkan anak-anak dari tidur yang cukup, latihan olahraga, dan hubungan personal tatap muka.
Richtel juga menyebutkan, akibat anak-anak terlalu lama terpapar layar telepon seluler, anak-anak lebih percaya dengan nasihat dari telepon mereka dibanding nasihat dari orangtua. Padahal nasihat orangtua jauh lebih personal dan lebih mengenai ketimbang nasihat yang didapatkan dari gawai yang cenderung sangat umum.
"Fenomena remaja berhenti mendengarkan orangtua mereka dan mulai mendengarkan orang asing itu terasa agak lucu. Nasihat dari media sosial itu juga bisa meracuni sikap remaja," katanya.
Yang turut memperparah kesehatan mental anak adalah orangtua yang tidak lagi menyediakan waktu yang cukup selama perkembangan anak mereka. Ini pula yang membuat anak-anak kemudian beralih ke gawai demi menadapatkan apa yang mereka inginkan.(*)