Internasional

Mengapa Thailand dan Myanmar Dihantam Gempa? Ini Penjelasan Ilmiahnya




“Pergerakan lempeng ini menyebabkan akumulasi energi yang kemudian dilepaskan dalam bentuk gempa besar seperti ini. Kondisi bangunan yang tidak memadai dan infrastruktur yang lemah memperburuk dampaknya,” paparnya.

Senada dengan itu, Dr. Michael Tan, pakar seismologi dari Universitas Tokyo, menyebut bahwa wilayah Myanmar terletak di dekat pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia yang terus bergerak. 

“Myanmar menjadi daerah rawan karena tekanan tektonik yang terus menerus terakumulasi di zona subduksi. Gempa sebesar ini mengindikasikan bahwa ada pelepasan energi yang sangat besar dan dapat memicu gempa-gempa susulan lainnya,” ujarnya. 

Ia juga menekankan bahwa kerusakan parah yang terjadi merupakan kombinasi antara kekuatan gempa dan lemahnya ketahanan struktur bangunan di wilayah tersebut.

Menurut para ahli konstruksi, beberapa alasan utama banyaknya bangunan yang runtuh adalah karena ketidaksesuaian bangunan dengan standar tahan gempa, bahan bangunan berkualitas rendah, serta lemahnya pengawasan konstruksi. 

Di daerah yang terdampak gempa seperti Mandalay, banyak bangunan tua yang tidak diperkuat dengan teknologi modern untuk menghadapi gempa. Selain itu, bangunan baru yang dibangun dengan anggaran terbatas sering kali menggunakan material murah yang rentan terhadap getaran kuat.

Sesar Sagaing

Pendapat lain datang dari Dr. Robert McGuire, pakar tektonik dari USGS. Ia menjelaskan bahwa gempa ini terjadi karena pergeseran horizontal antara lempeng India dan lempeng Eurasia, bukan karena subduksi semata. 

“Gempa ini terjadi di Sesar Sagaing, yang merupakan batas pertemuan lempeng tektonik India (di sebelah barat) dan lempeng Eurasia (di sebelah timur). Lempeng India bergerak ke arah utara sepanjang sesar ini, sementara lempeng Eurasia relatif diam. Pergesekan inilah yang menyebabkan gempa besar di kawasan ini,” jelasnya. 

McGuire menambahkan bahwa Sesar Sagaing merupakan salah satu sesar paling aktif di Asia Tenggara dengan panjang mencapai sekitar 1.200 kilometer. 

“Sesar ini memiliki sejarah panjang dalam menghasilkan gempa-gempa besar karena pergerakan geser antara dua lempeng yang bergesekan secara horizontal. Ini adalah wilayah yang sangat rentan, dan tanpa upaya mitigasi yang baik, korban jiwa akan selalu menjadi ancaman serius setiap kali gempa besar terjadi,” paparnya.

Bencana ini bukan hanya ujian bagi rakyat Myanmar yang sudah lelah oleh konflik, tetapi juga bagi komunitas internasional. Akankah bantuan kemanusiaan dapat menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan? Atau, seperti sebelumnya, akan ada yang terabaikan di tengah kepentingan politik dan kekuasaan?

Sementara itu, dari reruntuhan yang berdebu, suara-suara lirih yang meminta pertolongan masih terdengar. Dan bagi mereka yang masih hidup, perjuangan baru saja dimulai.