Oleh: Syamsir Nadjamuddin*
Hermeneutika, dalam konteks keagamaan, tidak hanya dimaknai sebagai metode menafsirkan teks-teks suci, tetapi juga diterapkan dalam memahami simbol dan ritual sosial-keagamaan.
Paul Ricoeur, seorang filsuf hermeneutika, menyebut bahwa makna bukan hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga dalam tindakan dan simbol yang hidup dalam masyarakat (Ricoeur, Interpretation Theory, 1976).
Dalam tradisi Peca' Asyura, hermeneutika membuka ruang untuk memahami bagaimana masyarakat menanamkan nilai-nilai spiritual melalui elemen-elemen budaya yang mereka warisi. Di sinilah terjadi dialektika antara ajaran normatif Islam dan ekspresi kultural masyarakat.
Peca' Asyura dan Simbolisme Kuliner
Bubur Asyura yang dikenal dengan sebutan Peca' di beberapa daerah, menyatukan berbagai bahan makanan menjadi satu hidangan. Setiap bahan bukan sekadar pelengkap rasa, melainkan simbol kehidupan manusia yang beragam namun tetap satu dalam pengabdian kepada Tuhan.
Dalam pemikiran Clifford Geertz, ritual semacam ini merupakan bentuk “cultural performance” yang mengkomunikasikan nilai-nilai moral dan sosial kepada komunitas
(Geertz, The Interpretation of Cultures, 1973). Peca' menjadi media ajar yang sederhana namun sarat makna teologis dan sosial.
Teologi Asyura Sebagai Simbol Kehidupan
Asyura tentu merujuk pada berbagai kisah yang menjadi titik balik dalam ulasan kebenaran sejarah Islam. Dalam konteks masyarakat Nusantara menjadi tentu menjadi momen perenungan, memperkuat spiritualitas dan solidaritas sosial.
Imam Khomeini pernah berkata, “Setiap peristiwa yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan bahkan hingga syahid sekalipun, menegaskan pesan abadi dan universal,"( Khomeini, Islamic Government, 1970).
Berbagai Pesan sejarah yang beresonansi dalam Peca' Asyura, di mana umat diajak tidak hanya mengenang, tetapi juga mengambil hikmah perjuangan para pelakon sejarah dan peristiwa dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran.
.webp)
Peca' Asyura. Bukan sekadar bubur, tetapi simbol pengorbanan, solidaritas, dan spiritualitas yang hidup dalam denyut masyarakat. Dalam setiap suapan, terdapat tafsir akan keberagaman yang menyatu dalam pengabdian kepada Tuhan. Kredit: Antara News.com.
Dimensi Sosial dan Kemanusiaan
Peca' Asyura juga merepresentasikan nilai filantropi Islam. Sedekah makanan kepada masyarakat, terutama kepada fakir miskin dan anak yatim, menjadi bagian tak terpisahkan. Hal ini sejalan dengan prinsip maqasid al-syari’ah yang menempatkan perlindungan jiwa (hifz al-nafs) dan solidaritas sosial sebagai pilar penting kehidupan bermasyarakat (Al-Ghazali, Al-Mustashfa).
Peringatan ini memperkuat konsep habl min al-nas (hubungan sesama manusia), yang di samping bersifat ritualistik, juga memiliki dampak sosial yang nyata.
Kontekstualisasi di Era Modern
Di tengah arus globalisasi dan kecenderungan sekularisasi, tradisi seperti Peca' Asyura berperan sebagai penjaga identitas dan nilai-nilai spiritual masyarakat. Namun demikian, agar tetap relevan, perlu ada reinterpretasi dan revitalisasi tradisi agar tidak terjebak pada formalitas semata.
Pemikiran Fazlur Rahman tentang “rekonstruksi pemikiran Islam” relevan di sini. Rahman menegaskan pentingnya ijtihad untuk menjaga agar ajaran Islam tetap dinamis dan adaptif terhadap perubahan sosial (Rahman, Islam, 1966).
Dengan demikian, Peca' Asyura tidak hanya dipertahankan, tetapi juga dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan zaman.
Melalui lensa hermeneutika teologi, tradisi Peca' Asyura terungkap bukan sekadar sebagai budaya warisan, tetapi sebagai medium penghayatan ajaran Islam yang penuh makna. Ia mengajarkan nilai pengorbanan, keadilan, solidaritas, dan spiritualitas yang melampaui sekat-sekat formal.
Penting bagi generasi untuk menjaga dan menghidupkan tradisi ini, bukan hanya sebagai warisan budaya, melainkan sebagai sumber inspirasi dalam membangun masyarakat yang adil, religius, dan humanis.
Referensi:
- Ricoeur, Paul. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas Christian University Press, 1976.
- Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. Basic Books, 1973.
- Khomeini, Ruhollah. Islamic Government: Governance of the Jurist. Alhoda, 1970.
- Al-Ghazali, Al-Mustashfa min 'Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Rahman, Fazlur. Islam. University of Chicago Press, 1966.
* Penulis adalah ASN Kantor Kemenag Maros