Opini

Urgensi Mata Kuliah Perfilman di Fakultas Ilmu Budaya Unhas (Surat Terbuka untuk Dekan Baru FIB-Unhas: Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, S.S., M. Hum.)

Supa

Oleh: Supratman

         (Dosen FIB Unhas dan Pemimpin Redaksi Unhas TV)

Pada tahun 2024, seiring dengan peningkatan pengguna internet di Indonesia yang mencapai 221,56 juta, konsumsi konten video melalui smartphone meningkat pesat (Lihat: “Satu Dekade Pembangunan Digital Indonesia 2014–2024”, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada tahun 2024), termasuk di kalangan mahasiswa di Sulawesi Selatan. Lebih dari 70% mahasiswa di Sulawesi Selatan, di tahun itu, mengonsumsi konten video di smartphone setiap hari, namun ironisnya kurang dari 10% dari konten tersebut mengangkat warisan budaya lokal.

Di tengah derasnya arus globalisasi digital, cerita-cerita tentang kebudayaan Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja berpotensi tenggelam tanpa ada medium yang secara sistematis melatih generasi muda untuk merekam dan menyebarluaskan narasi-narasi tersebut. Maka dari itu, kehadiran mata kuliah Cinematography (Perfilman) atau Film Studies di Fakultas Ilmu Budaya Unhas menjadi langkah strategis untuk menjamin agar kekayaan budaya Sulawesi Selatan tidak hanya didokumentasikan, tetapi juga dihidupkan kembali melalui wajah sinema.

Mata kuliah ini akan dirancang untuk mengembangkan kompetensi mahasiswa dalam setidaknya tiga aspek kunci: Pertama, produksi dan distribusi, yang mencakup penguasaan teknis kamera, lensa, pencahayaan, sound design, serta strategi penyebaran konten melalui platform digital dan festival film; Kedua, apresiasi, di mana mahasiswa dilatih mengamati gaya visual, narasi, dan konvensi genre secara kritis untuk membangun kepekaan estetika dan etika; dan Ketiga, studi kritis atas karya film, yakni penerapan kerangka teoritik Cultural Studies, Semiotika, dan Etnografi Visual untuk membaca film sebagai artefak budaya yang sarat makna sosial, historis, dan ideologis. Dengan memadukan ketiga pilar ini, kurikulum tidak hanya mengajarkan “cara membuat film,” tetapi juga “cara memahami film” sebagai produk kebudayaan yang membentuk dan dibentuk oleh konteks masyarakat.

Secara teknis, penguasaan alur produksi; dari pra-produksi hingga pasca-produksi dan distribusi menjadi krusial di era demokratisasi perangkat digital, di mana siapa saja dapat membuat dan menyebarkan video. Tanpa kerangka pembelajaran yang sistematis, kualitas dan keautentikan konten budaya lokal akan sulit terjaga. Sementara secara metodologis, studi kritis atas film menuntut pendekatan interdisipliner yang memadukan teori Cultural Studies, Semiotika, dan Etnografi Visual agar interpretasi atas representasi budaya dalam film tidak sekadar deskriptif, melainkan analitis dan berbasis bukti. Landasan teknis dan metodologis yang kuat ini memastikan mahasiswa dibekali keterampilan praktis dan analitis yang mendalam.

Sebagai kelanjutan dari kerangka tiga aspek di atas, mahasiswa akan terlibat langsung dalam produksi film dokumenter untuk mengabadikan adat-istiadat, ritual, dan kesenian tradisional Sulsel semisal Tari Pakkarena di Makassar, Tradisi Mappadendang di Bugis, Sayyang Pattudu’ di Mandar hingga ritual Ma’bua di Toraja. Proses ini selain membutuhkan teknik pengambilan gambar yang baik, sekaligus menjadi praktik etnografi visual yang mampu menangkap detail-detail kehidupan masyarakat dalam format audiovisual. Kurikulum sinematografi ini akan memperkaya arsip budaya sekaligus membalik paradigma dominasi narasi pusat, menempatkan mahasiswa sebagai juru cerita aktif yang memberi ruang bagi suara-suara lokal.

Ilustrasi Saatnya Perfilman Masuk Kurikulum:
Usulan mata kuliah perfilman di FIB Unhas membuka cakrawala baru kajian budaya visual, sekaligus menjembatani teori dan praktik dalam dunia sinema. Mahasiswa diajak mengeksplorasi film sebagai bahasa budaya yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat. Kredit: Clipart Library.
Ilustrasi Saatnya Perfilman Masuk Kurikulum: Usulan mata kuliah perfilman di FIB Unhas membuka cakrawala baru kajian budaya visual, sekaligus menjembatani teori dan praktik dalam dunia sinema. Mahasiswa diajak mengeksplorasi film sebagai bahasa budaya yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat. Kredit: Clipart Library.


Dari sisi apresiasi film, pendekatan Cultural Studies akan diaplikasikan untuk membaca teks film, baik secara framing, mise-en-scène, simbolisme, hingga ideologi, yang merupakan bagian dari studi kritis atas budaya. Mahasiswa diajak mengurai bagaimana representasi tokoh, ruang, dan narasi film mempengaruhi persepsi publik tentang warisan budaya. Integrasi pendekatan lintas disiplin dalam aspek-aspek; penulisan naskah, desain produksi, riset lapangan, dan editing, akan memperkuat kolaborasi dan kolektivitas internal fakultas serta menumbuhkan strategi riset yang holistik dan berwawasan luas.

Di era di mana kecanggihan kecerdasan buatan (AI) semakin memudahkan siapa saja untuk menghasilkan konten video secara otomatis, mulai dari deepfake hingga montase cepat, maka mata kuliah Perfilman akan menjadi benteng strategis. Sebab, mata kuliah ini tidak hanya mengajarkan teknik produksi yang bertanggung jawab, tetapi juga menanamkan kemampuan kritis untuk membedakan konten otentik dari konten yang dihasilkan mesin, serta merancang narasi yang memadukan kreativitas manusia dengan etika teknologi.

Kebutuhan akan lulusan yang siap bekerja di industri kreatif semakin mendesak ketika pangsa pasar perfilman Indonesia terus tumbuh pesat. Dengan memiliki portofolio karya film asli, mahasiswa FIB-Unhas dapat langsung bersaing sebagai sutradara, sinematografer, penulis naskah, atau editor di berbagai skala produksi, mulai dari film pendek independen, konten untuk platform streaming, maupun di industri produksi film skala besar. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk memproduksi konten budaya juga memupuk jiwa kewirausahaan; mahasiswa bisa mendirikan studio indie, memasarkan karyanya secara daring, dan bahkan menyelenggarakan festival film kampus yang menjadi ajang unjuk kreativitas sekaligus ruang interaksi dengan pelaku budaya lokal, nasional, bahkan internasional.

Dari perspektif akademik, pengintegrasian mata kuliah Perfilman ke dalam kurikulum S1 akan menegaskan posisi FIB-Unhas sebagai fakultas inovatif di kawasan Indonesia Timur. Inisiatif ini membuka pintu bagi kerja sama internasional dengan sekolah film dan pusat studi budaya dari Eropa, Australia, Timur Tengah, hingga Amerika Serikat, misalnya melalui program student exchange, penelitian bersama, maupun co-supervision tesis film etnografi. Kekuatan jejaring global ini tidak hanya memperluas wawasan mahasiswa, tetapi juga mengangkat reputasi Unhas di mata dunia akademik.

Dengan menghadirkan mata kuliah Perfilman, FIB-Unhas akan memperkaya metodologi dan output riset budaya melalui data audiovisual yang otentik, sekaligus mempersiapkan lulusan unggul yang kompeten di industri kreatif dan kewirausahaan budaya. Inovasi kurikulum ini juga akan meningkatkan profil akademik fakultas sebagai pelopor studi film di Indonesia Timur serta memperluas jejaring internasional. Di atas semua itu, langkah strategis ini menjamin pelestarian dan promosi warisan budaya Sulawesi Selatan di era digital. Mari ambil langkah strategis ini demi masa depan budaya dan generasi mahasiswa yang lebih kreatif, kritis, dan relevan.

The last but not least, atas nama alumni, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan FIB Unhas, saya yakin kita semua sepakat untuk mendukung penuh kepemimpinan Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas Periode 2025–2029, sepanjang semua masih dalam ridha Tuhan yang Maha Kuas sebagaimana pesan leluhur La Tiringeng To Tabaq (1476): “Makkeda siatepperengngiq, Puang! Malilu sipakaingekkiq, siala paingekkiq, marebba sipatokkongngiq, temmuésaq amaradekangekkiq. Naiko temmassolong mpawo, iaq temmangelleq pasang. Sisapparengngiq décéng, tessisapparengngiq jaq, nasaba Déwata séuaé” 

Dukungan ini merupakan wujud komitmen bersama demi kejayaan FIB Unhas tercinta, dalam upayanya meraih posisi sebagai salah satu fakultas terbaik di tingkat nasional dan global.

Dengan semangat “Unhasku Bersatu, Unhasku Kuat,” cita-cita itu bukan hanya mungkin, tapi pasti akan digapai.