News
Opini

Mimpi Indonesia Membangun Rumah Sakit Perguruan Tinggi Kelas Dunia

Oleh: Dr. drg. Andi Tajrin, M.Kes., SpBMM., SubSp COM(K)

Setiap bangsa besar memiliki rumah tempat ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan pelayanan kesehatan bersatu. Di Amerika, ada Johns Hopkins Hospital yang menjadi pelopor riset medis modern.

Di Singapura, National University Hospital menjadi contoh integrasi akademik dan klinik. Indonesia pun seharusnya memiliki rumah sakit perguruan tinggi negeri (RSPTN) yang berdiri dengan semangat serupa, menjadi mercusuar ilmu dan pelayanan bagi kemanusiaan.

Kongres Nasional Asosiasi Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (ARSPTN) ke-6 di Jakarta pada awal Oktober 2025 menegaskan arah baru tersebut. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto, menekankan bahwa RSPTN harus menjadi the champion, bukan sekadar rumah sakit pendidikan, tetapi pusat unggulan inovasi dan pelayanan berbasis ilmu pengetahuan.

Ia mengingatkan bahwa bidang kesehatan begitu kaya data dan potensi ilmu, sehingga rumah sakit pendidikan perlu menjadi laboratorium terbuka bagi berbagai disiplin: teknik, komputer, biologi, hingga ilmu sosial.

BACA: Senyum yang Kembali, Bedah Sumbing dan Kualitas Hidup Keluarga di Timur Indonesia

Pernyataan itu menggambarkan visi besar: membangun sistem kesehatan akademik yang tidak terpisah dari ekosistem pengetahuan nasional. Di sinilah kesehatan dipahami bukan hanya sebagai urusan medis, melainkan juga sebagai refleksi kemampuan bangsa dalam merawat kehidupan.

Tridharma yang Hidup di Ruang Klinik

Rumah sakit pendidikan adalah jantung tridharma perguruan tinggi. Ia bukan hanya tempat mahasiswa belajar, tetapi juga ruang di mana riset menemukan konteksnya dan pengabdian menemukan wujud nyatanya.

Ketua ARSPTN, Prof. Nasronudin, menyebut RSPTN sebagai “laboratorium tridharma yang hidup”, tempat di mana pendidikan berakar pada pelayanan, penelitian berpijak pada praktik klinis, dan pengabdian diwujudkan dalam kerja kemanusiaan.

Namun untuk menjadikan konsep itu nyata, dibutuhkan tata kelola yang terintegrasi antara universitas dan rumah sakit. Selama ini, keduanya sering berjalan pada rel berbeda.

Universitas sibuk pada urusan akademik, sementara rumah sakit disibukkan oleh tuntutan pelayanan dan regulasi kesehatan. Padahal, keberhasilan sistem kesehatan akademik justru bergantung pada kemampuan untuk menyatukan dua dunia itu menjadi satu ekosistem pengetahuan yang saling memperkuat.

Sesditjen Dikti, Prof. Setiawan, mengingatkan pentingnya memperkuat pendidikan klinik untuk mencetak dokter dan dokter gigi spesialis yang tidak hanya unggul dalam keterampilan, tetapi juga memiliki orientasi riset dan inovasi.

Kementerian pun menyiapkan program revitalisasi yang mencakup pendanaan sarana-prasarana pendidikan dan pelayanan, dukungan riset menuju hilirisasi, serta pengembangan sumber daya manusia yang berdaya saing global.

Tujuh Pilar Menuju Rumah Sakit Perguruan Tinggi Kelas Dunia

Kongres ARSPTN 2025 melahirkan gagasan penting untuk membangun rumah sakit pendidikan kelas dunia. Ada tujuh pilar utama yang menjadi arah transformasi nasional bagi RSPTN di masa depan.

Pilar pertama adalah tata kelola terintegrasi antara universitas dan rumah sakit. Kementerian Pendidikan perlu menyiapkan regulasi nasional yang menyatukan sistem akademik, riset, dan pelayanan di bawah satu kendali universitas. Ini akan mengakhiri dualisme yang selama ini menghambat efisiensi dan inovasi.

Pilar kedua adalah pendanaan dan inovasi berkelanjutan. Pemerintah perlu membentuk Dana Abadi RSPTN yang mendukung pembangunan infrastruktur, renovasi fasilitas, serta pengadaan alat kesehatan riset dan inovasi medis dalam jangka panjang.

Pilar ketiga adalah riset translasional dan kolaborasi interdisipliner. Setiap penelitian harus diarahkan untuk menghubungkan laboratorium dengan praktik klinis, seperti model di National University Hospital Singapura atau rumah sakit universitas di negara maju lainnya.

Pilar keempat adalah reformasi sumber daya manusia akademik dan klinik. Melalui program Clinical Academic Staff Nasional, dosen dan dokter pengajar akan terintegrasi dalam satu sistem karier yang seimbang antara pengajaran, riset, dan pelayanan klinik.

Pilar kelima adalah digitalisasi dan integrasi sistem informasi. Sistem RSPTN Connect akan menghubungkan data rekam medis, riset, dan pembelajaran sehingga mendorong efisiensi, transparansi, dan kolaborasi lintas institusi.

Pilar keenam adalah internasionalisasi dan akreditasi global. Setidaknya sepuluh RSPTN ditargetkan meraih akreditasi internasional seperti ISO atau JCI pada tahun 2027 melalui kemitraan dengan rumah sakit dari negara maju.

Dan pilar ketujuh adalah penguatan budaya akademik dan kepemimpinan unggul. Dosen klinik diharapkan tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga peneliti dan pemimpin inovasi yang mampu menumbuhkan budaya ilmiah di lingkungan rumah sakit pendidikan.

Ketujuh pilar ini bukan hanya kerangka teknokratis, melainkan panduan moral bagi masa depan kesehatan bangsa. Ia menuntut kolaborasi lintas ilmu, keberanian dalam kebijakan, dan semangat keilmuan yang berpihak pada kemanusiaan.

Membangun dari Data, Riset, dan Kemandirian

Fakta hari ini menunjukkan bahwa belanja riset kesehatan nasional masih sangat rendah, baru sekitar 0,23 persen dari PDB. Sementara itu, 93 persen alat kesehatan di Indonesia masih diimpor. Kondisi ini bukan sekadar soal statistik, melainkan cermin dari lemahnya kemandirian bangsa dalam teknologi medis.

Program transformasi RSPTN 2025–2030 dirancang untuk menjawab tantangan itu. Tahun 2025 menjadi masa konsolidasi dan penguatan regulasi nasional. Tahun 2026 difokuskan pada revitalisasi SDM dan infrastruktur.

Tahun 2027 menjadi momentum digitalisasi dan kolaborasi global. Tahun 2028 diarahkan pada inovasi dan kemandirian riset. Dan pada tahun 2030, tujuh RSPTN ditargetkan masuk dalam jajaran Top 200 Academic Hospitals Asia-Pacific.

Arah ini sejalan dengan semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan kedaulatan teknologi dan kesehatan sebagai fondasi Indonesia Emas.

Transformasi ini juga diharapkan dapat menekan arus keluar dana kesehatan yang kini mencapai Rp187 triliun per tahun, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat layanan dan riset medis di Asia Tenggara.

Refleksi: Ilmu, Pelayanan, dan Kemanusiaan

Namun lebih dari sekadar rencana pembangunan, transformasi RSPTN adalah ujian moral dan intelektual bangsa. Ia menuntut keberanian untuk mengubah cara berpikir tentang kesehatan, dari sekadar layanan publik menjadi strategi peradaban.

Rumah sakit pendidikan harus menjadi ruang tempat ilmu dan empati bekerja bersama, di mana dokter bukan hanya penyembuh tubuh, tetapi juga penumbuh harapan.

Indonesia memiliki sumber daya manusia yang cemerlang, peneliti yang berdedikasi, dan budaya gotong royong yang kuat. Kini saatnya semua potensi itu disatukan dalam visi bersama untuk menjadikan RSPTN sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan, pelayanan, dan kemanusiaan.

Sebab pada akhirnya, kemajuan bangsa tidak diukur dari berapa banyak rumah sakit yang dibangun, melainkan dari seberapa banyak kehidupan yang berhasil diselamatkan dengan ilmu, kasih, dan keberanian untuk bermimpi besar.


*Penulis adalah Sekjen ARSPTN dan Direktur RSGM Universitas Hasanuddin. Tulisan ini disarikan dari hasil Kongres Nasional ARSPTN 2025 serta arahan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; Sesditjen Dikti; Direktur Kemenkes; dan Ketua ARSPTN, dirangkum menjadi kajian kebijakan strategis nasional.