UNHAS.TV - Di ruang tunggu rumah sakit gigi Universitas Hasanuddin, seorang ibu muda tampak mengusap lembut pipi bayinya. Senyum kecil mulai tampak di wajah si kecil, bekas jahitan masih memerah di bibirnya. “Dulu saya sering menangis,” kata sang ibu lirih, “takut anak saya tidak bisa hidup normal.”
Kisah itu bukanlah satu-satunya. Di balik setiap operasi bibir sumbing (cleft lip), tersimpan cerita panjang tentang stigma, kecemasan, sekaligus harapan.
Penelitian terbaru yang dilakukan Andi Tajrin dalam disertasi doktornya berjudul Impact of Cleft Lip Surgery on Quality of Life and Mental Health in Associations with Sociodemographic Factors and Healthcare Access in Rural and Urban Areas: A Multicenter Study tidak berhenti pada aspek medis semata.
Ia mencoba mengurai dimensi yang lebih dalam: bagaimana operasi bibir sumbing memengaruhi kualitas hidup dan kesehatan mental, baik bagi pasien maupun keluarganya, terutama di wilayah timur Indonesia
Riset ini menjadi penting karena untuk pertama kalinya, analisis dilakukan secara multicenter, melibatkan berbagai rumah sakit dan pusat layanan, sehingga data yang terkumpul merepresentasikan keragaman pengalaman pasien dari kota besar hingga pelosok desa.
Dengan instrumen terstandar internasional seperti WHOQoL-BREF untuk menilai kualitas hidup dan Mental Health Inventory (MHI) untuk mengukur kondisi psikologis, Tajrin menghadirkan gambaran utuh yang jarang muncul dalam diskusi publik tentang bibir sumbing.
Ia menunjukkan bahwa sebuah operasi sederhana yang menghubungkan celah di bibir juga dapat menutup “celah sosial” yang selama ini dirasakan keluarga. Di satu sisi, ada transformasi fisik yang memulihkan fungsi makan, bicara, dan ekspresi wajah anak.
Di sisi lain, ada transformasi emosional: berkurangnya stigma, meningkatnya rasa percaya diri, serta berkurangnya kecemasan dan beban psikologis orang tua.
Lebih jauh, penelitian ini menyingkap kesenjangan nyata antara wilayah urban dan rural. Akses cepat di perkotaan memungkinkan anak-anak segera dioperasi dalam usia ideal, sehingga kualitas hidup keluarga lebih cepat pulih.
Sementara di desa-desa, proses itu sering tertunda oleh jarak, biaya, dan keterbatasan fasilitas kesehatan, yang pada akhirnya berdampak pada mental keluarga.
Bagi Tajrin, hal ini bukan hanya soal klinis, melainkan juga soal kebijakan publik. Ia menekankan bahwa penanganan bibir sumbing harus dipandang sebagai intervensi multidimensi, medis, psikologis, sosial, dan ekonomi agar anak-anak yang lahir dengan kondisi ini tidak hanya disembuhkan, tetapi juga diberi ruang untuk tumbuh dengan martabat dan kesempatan yang setara.
Celah di Bibir, Celah di Hidup
Cleft lip dan cleft palate adalah salah satu kelainan bawaan paling umum di dunia. Prevalensinya bervariasi, dari 1–2 per 1.000 kelahiran hidup, dengan angka lebih tinggi di negara berkembang. Di Indonesia, RISKESDAS mencatat peningkatan kasus dari tahun ke tahun, dengan perbedaan mencolok antara wilayah urban dan rural.
Dampaknya tidak sekadar fisik, sulit menyusu, makan, atau berbicara, tetapi juga sosial dan emosional. Anak-anak dengan bibir sumbing kerap tumbuh dalam suasana penuh tatapan. Di sekolah, mereka menjadi sasaran ejekan, dipanggil dengan nama-nama yang merendahkan, bahkan dijauhi oleh teman sebaya. Luka itu bukan hanya di wajah, melainkan juga di hati.
Bagi orang tua, kehadiran anak dengan bibir sumbing seringkali menimbulkan beban ganda. Ada rasa bersalah yang menyelimuti, apakah ini akibat kesalahan semasa kehamilan? Apakah karena makanan, obat, atau kebiasaan tertentu?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui, sementara tekanan sosial datang dari sekitar. Tidak jarang keluarga menghadapi stigma, bahkan dianggap menanggung “kutukan” atau “aib” yang harus disembunyikan dari masyarakat.
“Di masyarakat kita, bibir sumbing sering dikaitkan dengan mitos atau kutukan,” tulis Tajrin dalam disertasinya. Di beberapa daerah, anak yang lahir dengan kondisi ini dianggap sebagai pertanda buruk, atau disebut lahir karena “dosa orang tua.” Pandangan semacam ini memperparah penderitaan psikologis keluarga.
Padahal, sains telah menunjukkan hal sebaliknya. Faktor genetik, riwayat kesehatan ibu, kondisi kehamilan, serta lingkunganlah yang lebih menentukan. Paparan rokok, konsumsi alkohol, kekurangan gizi, atau penggunaan obat tertentu pada masa kehamilan terbukti menjadi pemicu signifikan. Namun, narasi medis ini sering kalah oleh mitos yang beredar turun-temurun.
Dengan demikian, celah di bibir bukan hanya masalah medis, melainkan juga persoalan cultural belief dan literasi kesehatan. Di sinilah penelitian Tajrin menegaskan pentingnya edukasi publik: membongkar stigma, mengikis mitos, dan mengembalikan persoalan bibir sumbing ke ranah ilmiah agar anak-anak bisa tumbuh tanpa rasa malu, dan orang tua tidak lagi menanggung beban salah yang tidak seharusnya dipikul.
Dari Makassar ke Toyama
Menariknya, riset Tajrin tidak hanya berfokus di Indonesia. Ia membandingkan data kasus di Sulawesi Selatan dan Toyama, Jepang. Hasilnya mencolok: jumlah kasus di Sulawesi Selatan jauh lebih tinggi, dengan tipe cleft lip and palate (CLP) sebagai bentuk paling dominan.
Namun angka-angka itu bukan sekadar statistik dingin. Mereka adalah refleksi dari dua dunia yang berjalan dalam ritme berbeda. Di Toyama, hampir setiap anak dengan bibir sumbing segera terdeteksi sejak dalam kandungan melalui pemeriksaan ultrasonografi rutin.
Begitu lahir, bayi langsung masuk ke dalam sistem perawatan yang terkoordinasi, mulai dari konseling genetik, perawatan gizi, hingga operasi yang dijadwalkan sesuai standar internasional. Semua dilakukan dalam ekosistem kesehatan yang terpusat, terjamin, dan merata.
Sementara di Sulawesi, jalannya jauh lebih berliku. Banyak kasus baru diketahui setelah anak lahir, bahkan ada yang terlambat ditangani hingga usia balita. Keterbatasan fasilitas kesehatan, terutama di daerah pedalaman, membuat orang tua harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk bertemu dokter spesialis.
Biaya transportasi sering lebih besar daripada biaya operasi itu sendiri. Di beberapa komunitas, budaya tradisional masih begitu kuat, sehingga keluarga lebih dulu mencari bantuan dukun atau pengobatan alternatif, menunda keputusan untuk pergi ke rumah sakit.
Jurang ini memperlihatkan kontras tajam antara sistem kesehatan negara maju dan negara berkembang. Jepang dengan teknologinya mampu menutup celah sejak awal, sementara Indonesia masih berjuang menutup celah itu bukan hanya di wajah anak-anak, melainkan juga dalam struktur layanan kesehatan dan literasi masyarakat.