News
Program

Senyum yang Kembali: Bedah Sumbing dan Kualitas Hidup Keluarga di Timur Indonesia




Perbandingan inilah yang memberi bobot penting bagi riset Tajrin. Ia tidak hanya memotret perbedaan angka prevalensi, tetapi juga menyingkap struktur sosial, budaya, dan kebijakan kesehatan yang menjadi latar belakang setiap kasus. Bahwa di balik satu senyum yang berhasil dipulihkan, ada sistem besar yang bekerja, atau justru gagal bekerja, untuk mendukungnya.

Luka yang Tak Terlihat

Bab lain dari disertasi ini menyoroti hal yang jarang diperhatikan: kesehatan mental orang tua pasien. Tajrin menegaskan bahwa operasi bibir sumbing tidak hanya menyangkut perubahan fisik anak, tetapi juga pergulatan batin keluarga yang mendampinginya.

Melalui instrumen WHOQoL-BREF dan Mental Health Inventory (MHI), ia memetakan kondisi psikologis orang tua yang memiliki anak dengan bibir sumbing. Hasilnya mengungkap sisi yang kerap tersembunyi di balik senyum paksa: orang tua, terutama di pedesaan, sering mengalami stres berkepanjangan, kecemasan, bahkan depresi ringan setelah menghadapi diagnosis anaknya.

Stres itu muncul sejak hari pertama. Di ruang persalinan, banyak ibu mengaku kaget ketika melihat bayinya lahir dengan celah di bibir. Perasaan bersalah segera datang, bercampur dengan pertanyaan “mengapa harus saya?” atau “apakah ini karena dosa saya?”. Rasa tertekan semakin besar ketika keluarga besar atau tetangga menambahkan komentar yang menyakitkan.

Beban mental juga dipicu oleh ketidakpastian masa depan anak. Akankah ia bisa berbicara dengan jelas? Apakah ia bisa diterima oleh lingkungan sekolah? Bisakah ia kelak bekerja atau menikah tanpa diskriminasi? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui hari-hari orang tua, dan sebagian besar tidak punya akses ke konseling psikologis untuk meredakan kecemasan.

Di desa, kondisi ini semakin diperparah oleh isolasi sosial. Tidak ada kelompok dukungan, tidak ada tenaga kesehatan yang bisa memberi pencerahan, dan minimnya akses informasi membuat orang tua merasa sendirian menghadapi beban yang begitu berat.

Sementara di perkotaan, walaupun stigma tetap ada, akses terhadap layanan psikologi, komunitas pendamping, atau rumah sakit rujukan sedikit banyak membantu meringankan tekanan batin.

Temuan Tajrin memperlihatkan bahwa operasi medis hanyalah satu tahap dari perjalanan panjang. Sebuah luka di bibir memang bisa dijahit, tetapi luka psikologis orang tua membutuhkan perawatan sosial dan emosional yang lebih lama.

Bukti untuk Kebijakan

Disertasi Impact of Cleft Lip Surgery on Quality of Life and Mental Health in Associations with Sociodemographic Factors and Healthcare Access in Rural and Urban Areas: A Multicenter Study menutup dengan sebuah seruan yang tegas: riset medis tidak boleh berhenti di meja akademik atau sekadar menambah deretan publikasi ilmiah.

Hasil penelitian harus menyeberang ke ranah publik, masuk ke ruang kebijakan, dan menyentuh kehidupan nyata masyarakat.

Andi Tajrin menekankan bahwa data tentang kualitas hidup, kesehatan mental, dan kesenjangan layanan kesehatan harus dijadikan fondasi perumusan kebijakan nasional.

Selama ini, intervensi medis sering hanya dipandang dari sisi teknis: operasi selesai, pasien sembuh, tugas usai. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Ada anak-anak yang masih kesulitan beradaptasi di sekolah, ada keluarga yang menanggung trauma sosial, ada desa-desa yang bahkan belum memiliki akses ke rumah sakit rujukan.

Tajrin menyarankan agar pemerintah mengintegrasikan penanganan bibir sumbing ke dalam program kesehatan ibu dan anak, tidak hanya sebatas pelayanan bedah, melainkan juga mencakup edukasi masyarakat, konseling psikologis, pendampingan gizi, serta penguatan sistem rujukan di daerah terpencil. Tanpa itu, jurang antara kota dan desa akan terus melebar.

Lebih jauh, penelitian ini mengingatkan bahwa setiap angka statistik yang tertulis dalam laporan medis sesungguhnya adalah wajah seorang anak, air mata seorang ibu, dan perjuangan sebuah keluarga.

Menjadikan data itu dasar kebijakan berarti memberi ruang bagi negara untuk hadir, bukan sekadar dengan alat bedah, tetapi juga dengan empati dan tanggung jawab sosial.

“Bibir sumbing bukan hanya soal operasi,” tulis Tajrin. “Ia adalah soal keberlanjutan hidup, martabat, dan hak anak untuk tersenyum.”

Andi Tajrin menegaskan bahwa operasi hanyalah awal. Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dan negara memastikan setiap anak, dari kota hingga desa, dari Makassar hingga Toyama, bisa tumbuh dengan senyum yang utuh.