Yang terasa hilang, film Mufasa ini tak banyak menghadirkan perbincangan-perbincangan filosofis. Lebih banyak motivasi untuk bangkit, yang disampaikan sosok Rafiki.
Ini yang membedakannya dengan The Lion King, di mana Simba kecil berdialog dengan Mufasa mengenai posisinya di tengah semesta. Singa adalah subyek pemangsa, sementara hewan lain adalah obyek dimangsa.
Dialog keduanya ini dicatat sejarawan Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for 21st Century dalam bab mengenai makna. Harari menggambarkan dialog ini serupa dialog antara Kresna dan Arjuna dalam kisah Mahabharata.
Manusia mencari posisinya di alam semesta, lalu bergerak untuk mengikuti dharma. Dalam bahasa Mufasa, kehidupan diatur dengan hukum agung yakni circle of life.
Semua terkoneksi dan terhubung. Rumput dimakan rusa, lalu rusa dimakan singa, hingga singa akan mati dan dimakan rumput. Hidup bergerak melalui lingkaran di mana semua terhubung.
“When we die, our bodies become the grass, and the antelope eats the grass. And so, we are all connected in the great circle of life,” kata Mufasa kepada Simba..
Dalam film Mufasa, sosok paling bijak itu adalah Rafiki yang membimbing singa muda Kiara menuju kedewasaan. Ada satu kutipan Rafiki yang menarik, “Tak penting seperti apa masa lalu kita, yang terpenting adalah hari ini dan masa depan, kita menjadi figur yang lebih baik.”
*Penulis dikenal sebagai blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University, Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.