Budaya

Nakhoda Perahu Bugis di Amerika Serikat

buku Navigasi Bugis

Merawat Perahu Bugis

Saat jumpa dengannya, dia risau dengan kian langkanya pengetahuan mengenai perahu Bugis. Selama beberapa tahun terakhir, dia membuat replika perahu Bugis yang kemudian diditipkannya ke berbagai belahan bumi.

Dia menitipkan replika perahu Bugis ke beberapa museum maritim yang menyimpan koleksi budaya maritim dunia. Ia menyebut Darwin di Australia dan Singapura, dua lokasi yang akan menyimpan koleksi perahu Bugis yang dibawanya.

“Di Indonesia, saya belum menemukan ada satu museum yang menyimpan koleksi kapal dan perahu tradisional selengkap museum di dua kota itu,” katanya.

Beberapa tahun lalu, saya sempat menghadiri pameran replika perahu Bugis koleksi Ammarell di Amerika Serikat. Saat itu, dia memamerkan jenis-jenis perahu, seperti lambo, bago, dan jolloro.

Replika Perahu Bugis

Tak hanya perahu yang dipamerkan. Saya juga melihat jenis-jenis peralatan yang dipakai orang Bugis saat membuat perahu, juga bahan untuk membuat layar, yang setelah saya perhatikan, ternyata terbuat dari nilon, sebagaimana sering dipakai untuk menyimpan beras.

Yang menarik, perahu-perahu itu ditata dengan posisi yang snagat rapi, serta terdapat keterangan tentang jenis serta maknanya. Dengan cara itu, setiap pengunjung bisa belajar banyak hal sambil memperhatikan perahu. Di situ juga terdapat beberapa foto perahu yang digunakan para nelayan di perkampungan Bugis.

Selama ini, saya hanya mengenal perahu Bugis yang disebut phinis yang kemudian menjadi ikon Sulawesi Selatan. Namun berkat Ammarell, saya belajar tentang banyak jenis perahu yang digunakan oleh para nelayan dan pelaut Bugis untuk berbagai keperluan. Jika hendak memancing, mereka akan jenis perahu tertentu, sedangkan saat berdagang, mereka memakai jenis perahu lain.

Mengapa perahu-perahu itu tidak dititipkan ke Sulawesi Selatan? Ammarell hanya terdiam. Saya hanya bisa menduga-duga. Mungkin lebih aman jika menitip perahu ke Leiden, Darwin, ataupun Ohio. Bisa jadi perahu itu akan dirawat lebih baik sebagai penanda peradaban manusia “demi mengarung luas samudera.”

Saya membayangkan bahwa kelak generasi baru Bugis Makassar akan kehilangan kemampuan navigasi serta kapal. Kelak, generasi baru Bugis akan berkelana ke negeri-negeri yang jauh demi untuk mempelajari pengetahuan yang dimiliki oleh nenek moyangnya. Mungkin kelak mereka mesti ke Leiden, atau Ohio demi belajar pengetahuan itu.

Di titik ini, saya tak bisa berkata apa-apa. Saya sedih.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat