Internasional

Pelajaran dari Pertemuan Trump dan Mamdani

Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbincang santai dengan Wali Kota New York, Zohran Mamdani, di Oval Office, Gedung Putih, Washington D.C., Jumat (21/11/2025). Pertemuan bersejarah ini menarik perhatian dunia karena mempertemukan dua tokoh dengan pandangan politik berseberangan dalam suasana penuh keakraban, humor, dan semangat dialog demi kemanusiaan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbincang santai dengan Wali Kota New York, Zohran Mamdani, di Oval Office, Gedung Putih, Washington D.C., Jumat (21/11/2025). Pertemuan bersejarah ini menarik perhatian dunia karena mempertemukan dua tokoh dengan pandangan politik berseberangan dalam suasana penuh keakraban, humor, dan semangat dialog demi kemanusiaan.

WASHINGTON,DC. UNHAS.TV- Dalam dunia politik, tidak ada permusuhan yang abadi. Itulah pesan kuat yang lahir dari pertemuan bersejarah antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Wali Kota New York yang baru terpilih, Zohran Mamdani, seorang muslim keturunan imigran yang dikenal lantang dalam membela isu kemanusiaan dan keadilan global, termasuk bagi rakyat Palestina di Gaza.

Pertemuan yang berlangsung pada Jumat, 21 November 2025, itu semula tidak pernah dibayangkan akan terjadi. Keduanya pernah saling melempar tudingan tajam—Trump menyebut Mamdani sebagai “komunis,” sementara Mamdani menuding Trump “fasis.” Namun, di ruang pertemuan Gedung Putih hari itu, permusuhan politik berubah menjadi percakapan penuh hormat.

“Yang saya kritik bukanlah rakyat Amerika, melainkan pemerintah Israel yang telah melakukan genosida, serta pemerintah kita yang membiayainya,” ujar Mamdani di hadapan wartawan usai bertemu Presiden. “Saya katakan kepada Trump bahwa banyak warga New York ingin pajak mereka digunakan untuk memperbaiki kehidupan mereka sendiri, bukan untuk perang dan pendudukan.”

Pernyataan itu menggema luas. Untuk pertama kalinya, seorang pejabat tinggi dari jantung kekuasaan Amerika berbicara blak-blakan tentang genosida di Gaza di hadapan seorang presiden yang selama ini dikenal pro-Israel.

Dari Tuduhan “Komunis” ke Ucapan “Suatu Kehormatan”

Sehari sebelum pertemuan, Trump menulis di platform Truth Social dengan nada merendahkan: “Wali kota komunis New York, Zohran ‘Kwame’ Mamdani, meminta untuk bertemu saya.” Nama tengah “Kwame” sengaja ditulis di dalam tanda kutip untuk menonjolkan asal-usul Afrika Mamdani—nama yang diambil dari Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana dan tokoh anti-kolonialisme.

Namun, setelah pertemuan itu, nada Trump berubah drastis. Dalam unggahan terbarunya, ia menulis: “Pertemuan dengan Wali Kota New York Zohran Mamdani merupakan suatu kehormatan besar!” Trump bahkan memuji Mamdani sebagai “pemimpin yang logis dan cerdas,” dan menyebut bahwa ia siap mendukung kerja sama antara pemerintah federal dan kota New York.

“Saya telah bertemu banyak pemimpin dunia,” kata Trump di hadapan wartawan. “Tapi tidak ada yang menarik perhatian media sebanyak pertemuan ini. Lihatlah di luar—ratusan orang menunggu!”

Ketika ditanya apakah ia bersedia tinggal di kota yang kini dipimpin oleh Mamdani, Trump menjawab sambil tersenyum, “Tentu, apalagi setelah pertemuan ini.”

Mamdani: Muslim Muda yang Mengguncang Panggung Politik

Zohran Kwame Mamdani, 34 tahun, lahir di Kampala, Uganda, dari keluarga akademisi Muslim. Ia tumbuh besar di New York, dikenal sebagai aktivis sosial yang memperjuangkan hak kaum miskin, imigran, dan korban diskriminasi rasial. Sebelum menjadi politisi, Mamdani bekerja membantu warga berpenghasilan rendah mencegah penggusuran rumah mereka di Queens—pengalaman yang membentuk kepedulian sosialnya.

Sebagai anggota Democratic Socialists of America, Mamdani membawa semangat keadilan sosial yang progresif, namun tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas Islam. Dalam pidato kemenangannya awal bulan ini, ia menyerukan “politik yang berpihak pada manusia, bukan pada uang dan kekuasaan.”

Keberanian Mamdani berbicara soal Gaza dan kebijakan luar negeri Amerika membuatnya populer di kalangan muda, namun juga menuai kecaman dari kelompok pro-Israel. Namun ia tetap teguh: “Kemanusiaan tidak punya agama, tapi penindasan selalu punya pelaku,” ujarnya dalam salah satu wawancaranya dengan Al Jazeera.

Ketegangan yang Mencair

Dalam konferensi pers bersama usai pertemuan, wartawan bertanya kepada Mamdani, “Apakah New York mencintai Trump?”

Dengan senyum tenang, Mamdani menjawab, “New York mencintai masa depan yang terjangkau untuk semua. Dan saya bisa katakan, New York memberikan suara terakhirnya untuk Trump beberapa waktu lalu.” Jawaban ini memancing tawa dan tepuk tangan di ruang konferensi.

Ketika seorang wartawan menyinggung tudingan Mamdani yang pernah menyebut Trump “fasis,” sang presiden justru menimpali dengan nada santai: “Jawab saja ‘ya’, itu lebih mudah daripada menjelaskan panjang lebar.” Momen ringan itu menjadi simbol bagaimana dialog dapat menggantikan permusuhan, bahkan di antara dua tokoh dengan pandangan ekstrem yang berseberangan.

Politik dan Pelajaran Kemanusiaan

Dunia Barat sering kali dikritik atas standar ganda dalam demokrasi dan kebijakan luar negerinya, namun pertemuan ini menghadirkan pelajaran penting: politik bukan hanya soal menang-kalah, melainkan soal kemampuan membangun jembatan antara perbedaan. Mamdani dan Trump, dua figur dengan pandangan berlawanan, menunjukkan bahwa dialog dapat membuka ruang baru bagi kemanusiaan.

Trump mengakui, “Kami mungkin tidak sepakat dalam banyak hal. Tapi kami akan menemukan jalan tengah, atau dia akan meyakinkan saya, atau saya meyakinkan dia. Yang jelas, saya ingin membantunya, bukan melawannya.”

Pernyataan itu mencerminkan kesadaran baru dalam politik Amerika—bahwa menghadapi tantangan global seperti krisis kemanusiaan, perubahan iklim, dan perang di Timur Tengah membutuhkan kolaborasi lintas ideologi.

Harapan untuk Dunia Islam dan Gaza

Pertemuan antara Trump dan Mamdani menjadi simbol pergeseran politik di Amerika—dari retorika permusuhan menuju ruang dialog yang lebih manusiawi. Bagi dunia Islam dan rakyat Gaza, momen ini menumbuhkan harapan bahwa suara keadilan dan kemanusiaan kini menemukan tempat di jantung kekuasaan Amerika.

Zohran Mamdani bukan hanya wali kota New York; ia adalah cermin bagi generasi baru Muslim yang percaya bahwa iman dan empati dapat berjalan seiring dengan kepemimpinan modern. Dalam dunia yang retak oleh perang dan ketimpangan, kehadirannya memberi pesan: perubahan tidak selalu datang dari kekuatan senjata, melainkan dari keberanian berbicara dengan hati nurani!(*)