News
Program
Unhas Speak Up

Pelajaran dari Protes Warga Pati, Prof Thahir Haning: Kenaikan PBB Wajib Disosialisasikan dan Junjung Asas Keadilan

undefined

MAKASSAR, UNHAS.TV – Kebijakan penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah di Indonesia menghadapi sorotan tajam.

Kenaikan yang ditetapkan tanpa sosialisasi dan pertimbangan matang dinilai dapat memicu gejolak, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana kenaikan tarif hingga 250% sempat memicu protes massal.

Menanggapi fenomena ini, Ketua Tax Center Unhas, Prof Dr Mohamad Thahir Haning MSi, menekankan pentingnya asas keadilan, transparansi, dan sosialiasasi dalam penetapan tarif PBB.

Prof Thahir Haning menyebut kenaikan tarif PBB harus mengikuti prosedur yang benar, termasuk melalui proses uji publik. Bukan dengan jalur diam-diam.

"Setiap pembuatan Undang-Undang harus disosialisasikan dulu, ada uji publik, kalau misal PBB dinaikkan, sosialisasikan sebelumnya, itu tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, makanya terjadi demonstrasi," ungkap Prof Thahir Haning dalam program Unhas Speak Up pada Senin (6/10/2025).

Prof Thahir menjelaskan bahwa PBB kini 100% menjadi kewenangan daerah berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Ia menyarankan agar Pemerintah Daerah (Pemda) bijaksana dan tidak perlu panik. Daripada menaikkan tarif secara drastis, Pemda harus mengintensifkan sumber pemasukan lain di luar PBB dan memastikan keadilan.

"Pemda tidak perlu panik, yang perlu dilakukan Pemda ialah mengintensifkan bagaimana pemasukan daerah selain PBB bisa dimassifkan," katanya. Ia juga mengingatkan bahwa asas keadilan harus diutamakan, seperti dengan menerapkan subsidi silang.

"Tanah orang kaya juga itu perlu lebih tinggi, jadi ada subsidi silang. Sama dengan UKT, tetapkan standar yang tetap, tidak disamakan."

Transparansi Jadi Syarat Mutlak

Menurut Prof Thahir, penetapan tarif PBB harus didasarkan pada pertimbangan objektif, terutama kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Penetapan NJOP juga harus sesuai dengan database yang lengkap dan akurat, serta memperhatikan klasifikasi objek pajak.

"Meskipun ada NJOP itu sebagai dasar, tapi perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat, daya beli masyarakat," tegasnya. Ia menyarankan Pemda untuk tidak "tutup mata dan telinga" terhadap kondisi riil.

Ia menutup dengan menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan PBB, sebab pajak tersebut sejatinya untuk kepentingan publik.

"Transparansi itu meningkatkan kepercayaan publik, pasti akan mendukung semua kebijakan. Masyarakat paham, tentu akan mendukung," pungkas Prof Thahir.

Dengan demikian, masyarakat sebagai pemilik negara akan memenuhi kewajiban pajaknya.

(Amina Rahma Ahmad / Unhas.TV)