Sosial

Pelaku Kekerasan Seksual Sering Lebih Mudah Menyakiti Orang Dekat

MAKASSAR, UNHAS.TV - Kekerasan seksual menjadi isu yang semakin disoroti di Indonesia, meskipun telah lama terjadi. 

Kepala Program Studi Psikologi Universitas Hasanuddin Dr Ichlas Nanang Afandi SPsi MA menjelaskan, konsensus adalah parameter yang dipakai untuk menentukan apakah suatu tindakan termasuk kekerasan seksual. 

"Jika kedua pihak menyetujui tindakan seksual tanpa paksaan, maka itu bukan kekerasan seksual. Tetapi jika ada unsur paksaan atau ketidakseimbangan kekuasaan, itu jelas termasuk kekerasan," ungkapnya di program Unhas Speak Up di studio Unhas TV, Kamis (19/12/2024).

Kekerasan seksual memiliki berbagai bentuk atau tingkatan, mulai dari catcalling hingga pemerkosaan.

Fenomena catcalling yang dulu dianggap biasa kini mulai diakui sebagai pelecehan seksual ringan. Kesadaran masyarakat terhadap berbagai jenis kekerasan seksual meningkat, salah satunya berkat edukasi luas yang muncul melalui media sosial. 

Bahkan, istilah seperti catcalling kini dipahami sebagai bentuk pelecehan kecil yang bisa bereskalasi menjadi kekerasan lebih serius.

Ichlas menyoroti bahwa dalam konteks pelacuran, tindakan seksual tidak dianggap pelecehan karena adanya konsensus antara pihak-pihak yang terlibat. 

Namun, tindakan kekerasan seksual pada umumnya melibatkan unsur paksaan, ketidakseimbangan kekuasaan, atau pelanggaran privasi, sehingga tidak dapat disamakan dengan konteks tersebut.

Di Indonesia, pelaporan kasus kekerasan seksual meningkat, sebagian besar didorong oleh akses yang lebih luas dan terbuka melalui berbagai jalur, termasuk media sosial. 

Hal ini memberikan ruang bagi korban untuk menyuarakan pengalaman mereka. Namun, masih banyak korban yang enggan melapor karena faktor psikologis, seperti ketakutan, tekanan budaya, atau hubungan dekat dengan pelaku.

Menurut Ichlas, kekerasan seksual di lingkungan dekat lebih rentan terjadi karena pelaku merasa hubungan emosional atau kultural akan melindungi mereka dari konsekuensi. 

"Kita sering kali lebih mudah menyakiti orang yang dekat, karena ada pemikiran bahwa mereka tidak akan menuntut atau melaporkan," tambahnya.

Kekerasan seksual, terutama dalam kasus seperti pemerkosaan, meninggalkan trauma yang sulit diperbaiki. Seksualitas sebagai elemen privat dan sakral membuat pelanggaran terhadapnya berdampak besar pada korban. 

Dampaknya bahkan terlihat dalam kasus ringan. Sebagai contoh, perempuan yang melakukan hubungan seksual pranikah dan hamil kerap menghadapi stigma yang memengaruhi kepercayaan diri dan kehidupan pernikahannya kelak.

Dalam psikologi, perubahan pandangan terhadap korban kekerasan seksual menunjukkan kemajuan. Selama ini, korban sering disalahkan dengan alasan seperti pakaian atau perilaku yang dianggap mengundang. Kini, perspektif ini bergeser, menempatkan korban sebagai pihak yang harus dilindungi dan dibela.

Pencegahan kekerasan seksual membutuhkan peran pendidikan dan keluarga. Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat aman dengan penguatan kurikulum, workshop, dan satgas anti kekerasan seksual. 

Sementara itu, keluarga harus menjadi tempat pertama yang memberikan edukasi kepada anak tentang bentuk kekerasan seksual.

Masyarakat diharapkan mampu mengenali jenis-jenis kekerasan seksual, berani melaporkan, dan bersatu mendukung korban. "Be aware, kenali apa saja bentuk kekerasan seksual di sekitar kita. Be brave, laporkan. Be connected, bersatulah," tutup Ichlas.(*)

Rizka Fraja (Unhas TV)