Internasional

Penutupan Selat Hormuz Sebuah Pilihan Strategi Iran Menghadapi Israel,Amerika dan Sekutu lainnya

Hormuz

TEHERAN, UNHAS.TV — Pada tanggal 14 Juni sebuah wacana strategis kembali mencuat dari ruang-ruang pertemuan elite militer dan politik Iran: menutup Selat Hormuz. Brigadir Jenderal Esmail Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen, menekankan dalam sebuah wawancara bahwa pertimbangan opsi “menutup Selat Hormuz” saat ini ada dalam agenda Iran dan pemerintah akan membuat keputusan yang tepat dengan tekad penuh.

Opsi ini bukan sekadar retorika militer, tapi simbol dari akumulasi kemarahan, luka, dan strategi yang sedang digodok di bawah tekanan eskalasi konflik dengan Israel dan para sekutunya.

Langkah ini mencuat setelah serangkaian serangan udara brutal menghantam wilayah Iran, termasuk sasaran yang dianggap vital: fasilitas nuklir dan kawasan permukiman sipil. Tak hanya itu, beberapa petinggi militer Iran gugur dalam serangan tersebut—sebuah kehilangan yang dalam sejarah konflik kawasan tidak pernah dianggap ringan.

Dalam salah satu siaran televisi nasional, Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, tampil dengan wajah tegas namun berduka. Ia mengumumkan pengganti para jenderal yang gugur dan menyatakan bahwa angkatan bersenjata Iran “akan menghancurkan Israel.” Kalimat itu bergema di seluruh Iran, membangkitkan gelombang dukungan rakyat sekaligus kekhawatiran di mata dunia.

Selat Hormuz: Pintu Gerbang Energi Dunia

Ancaman terhadap Selat Hormuz bukan hal baru, tapi kali ini terasa berbeda. Di tengah bara konflik yang membara, ide untuk menutup selat strategis ini menjadi lebih dari sekadar wacana politis. Sekitar 20 persen minyak dunia melintasi jalur laut sempit itu setiap harinya. Menutupnya berarti mengguncang ekonomi global—sebuah kartu truf yang tak semua negara berani mainkan.

“Kita tahu dampaknya sangat besar, tapi jika seluruh dunia memilih diam terhadap kejahatan Israel, maka kita harus bicara dalam bahasa yang mereka pahami,” ujar seorang analis kebijakan luar negeri di Teheran yang tak mau disebutkan namanya.

Namun, bukan hanya itu yang menjadi senjata. Di antara opsi yang kini terbuka lebar adalah hengkangnya Iran dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan penghentian kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), lembaga yang oleh sebagian pihak di Iran dianggap tak netral dan terlalu lunak terhadap kepentingan Israel.

Ketika Diplomasi Dipandang Ilusi

Keyakinan terhadap jalur diplomasi kian memudar di tengah intensitas konflik. Negosiasi dianggap hanya menjadi panggung sandiwara, terutama ketika Amerika Serikat—sekutu utama Israel—terus memainkan peran ganda. Di satu sisi mereka berbicara tentang de-eskalasi, di sisi lain mereka mendanai dan memasok senjata untuk kampanye militer Tel Aviv.

“Iran bernegosiasi, sementara Israel menargetkan jantung pertahanan kita,” ujar seorang mantan diplomat Iran. “Apa lagi yang perlu dibicarakan?”

Sebuah pencapaian teknologi yang signifikan: Iran berhasil meluncurkan rudal balistik dari bawah laut. Ini menandai tonggak penting dalam pengembangan kemampuan militer Iran dan menunjukkan kemajuan teknologi yang pesat. Kredit: Mehr News
Sebuah pencapaian teknologi yang signifikan: Iran berhasil meluncurkan rudal balistik dari bawah laut. Ini menandai tonggak penting dalam pengembangan kemampuan militer Iran dan menunjukkan kemajuan teknologi yang pesat. Kredit:Mehr News


Pengganti Jenderal, Kekuatan Baru

Dalam tempo cepat, struktur komando militer Iran disusun ulang. Jenderal Abdolrahim Mousavi, yang sebelumnya memimpin Angkatan Darat, kini ditunjuk sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Ini adalah pertama kalinya Angkatan Darat Iran menjadi pemegang kendali utama struktur militer strategis. Di sisi lain, Komando Garda Revolusi Islam (IRGC) berpindah ke tangan Jenderal Mohammad Pakpour.

Kombinasi ini menandai babak baru: sinergi lebih erat antara IRGC dan Angkatan Darat, yang sebelumnya cenderung berjalan dalam jalur paralel. Dalam beberapa hari terakhir, respons Iran pun tidak main-main. Serangan rudal balistik dan drone ke wilayah target Israel menunjukkan kemampuan tempur yang siap menghadapi berbagai skenario, bahkan di tengah tekanan global.

Menanti Titik Balik

Satu hal yang kini jadi perhatian dunia: apakah Iran akan benar-benar melangkah sejauh menutup Selat Hormuz?

Banyak analis masih skeptis. Tak sedikit yang meyakini bahwa langkah itu terlalu berisiko secara ekonomi dan diplomatik. Iran sendiri masih bergantung pada jalur itu untuk mengekspor minyak ke mitra dagang utama seperti Tiongkok. Apalagi, sebagian besar wilayah perairan selat berada dalam yurisdiksi Oman.

Namun, seperti yang dikatakan Amena Bakr, Head of Middle East Energy & OPEC‑plus Research di Kpler, sebuah perusahaan penyedia data dan analisis pala pasar energi: “Bahkan skenario ekstrem layak diperhitungkan, karena kita sudah berada dalam situasi yang ekstrem.”

Dalam semua ketidakpastian ini, satu hal menjadi jelas: Iran tidak lagi sekadar bertahan. Ia kini menunjukkan bahwa ia bisa menggigit jika terus dipaksa ke dinding. Dan ketika diplomasi dirasa mandek, dunia harus siap menghadapi bentuk komunikasi lain yang jauh lebih nyaring—dan mungkin, jauh lebih berbahaya.(*)