Internasional

Pidato Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB yang Dipuji Banyak Pemimpin Dunia

MAKASSAR, UNHAS.TV - Penampilan perdana Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto pada Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 23 September, mendapat pujian banyak pemimpin negara.

Pada debut yang disambut tepuk tangan meriah dan refleksi mendalam tentang masa lalu kolonial Indonesia, Presiden Prabowo Subianto naik menyampaikan pidato berdurasi 19 menit yang memadukan sejarah pribadi, kritik global, dan usulan tegas untuk perdamaian. 

Berbicara sebagai pembicara ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden AS Donald Trump, pidato Prabowo—berjudul "Seruan Harapan Indonesia" —menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap PBB sambil menantang dunia untuk menolak ketimpangan kekuasaan dan mengutamakan kemanusiaan di atas hegemoni. 

Pidato ini, yang merupakan penampilan pertama pemimpin Indonesia di forum tersebut dalam hampir satu dekade, menuai delapan kali tepuk tangan dan diakhiri dengan tepuk tangan berdiri.

Prabowo membuka pidatonya dengan mengenang sejarah kelam Indonesia, mengingatkan luka dari berabad-abad di bawah penjajahan. "Kebencian, penindasan, dan apartheid mengancam masa depan kita. Negara saya pernah mengalami ini," ujarnya, menggambarkan perjuangan Indonesia melawan "bahaya, ketidakpastian, dan ketidaktahuan." 

Ini bukan sekadar cerita; ini menjadi jembatan menuju masa kini, menegaskan bagaimana dukungan awal PBB—melalui legitimasi Dewan Keamanan dan badan-badan seperti UNICEF, FAO, dan WHO—membantu Indonesia bangkit dari kemiskinan, penyakit, dan kelaparan.

Secara halus menanggapi kritik Trump sebelumnya yang menyebut PBB "tidak efektif," Prabowo dengan penuh semangat membela organisasi tersebut. "Tanpa Perserikatan Bangsa-Bangsa, kita tidak bisa aman. Tidak ada negara yang bisa merasa aman," tegasnya. "Kita membutuhkan PBB, dan Indonesia akan terus mendukung PBB." 

Dukungan ini menyoroti kepercayaan Indonesia terhadap multilateralisme, memposisikan nusantara sebagai jembatan antara negara-negara Selatan Global dan kekuatan besar.

Inti dari pesan Prabowo adalah penolakan tegas terhadap politik kekuasaan kuno. Mengutip sejarawan Yunani Thucydides—"yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka derita"—ia mendesak sidang untuk meninggalkan "doktrin" ini demi keadilan dan kedaulatan.

"Kekuatan tidak bisa menjadikan kebenaran," serunya, sebuah pernyataan yang sangat bergema di aula yang dibayangi oleh konflik yang sedang berlangsung, dari Ukraina hingga Timur Tengah. Prabowo memperingatkan tentang "kebodohan manusia, yang didorong oleh ketakutan, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid," yang digambarkannya sebagai ancaman eksistensial bagi harmoni global.

Pergeseran filosofis ini menjadi landasan visinya untuk tatanan dunia yang direformasi: di mana keputusan berakar pada "solidaritas kemanusiaan," bukan dominasi. 

Sebagai pemimpin negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, penekanan Prabowo pada keadilan tanpa bias memperkuat seruannya agar PBB berevolusi, memastikan organisasi ini tetap menjadi pelindung bagi yang rentan, bukan hanya penonton ketidakadilan.

Tidak ada pidato di Sidang Umum PBB 2025 yang lengkap tanpa membahas krisis Gaza, dan Prabowo melakukannya dengan tekad yang teguh. Mengungkapkan "keprihatinan mendalam" atas "tragedi kemanusiaan" di Palestina, ia menegaskan kembali dukungan lama Indonesia untuk solusi dua negara. 

"Kekerasan tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik politik apa pun karena kekerasan hanya akan melahirkan lebih banyak kekerasan," katanya, membayangkan "dua negara, dua keturunan Abraham hidup dalam rekonsiliasi, perdamaian, dan harmoni—Arab, Yahudi, Muslim, dan Kristen hidup bersama."

Dalam langkah yang menuai tepuk tangan khusus —dan beberapa kejutan— Prabowo menekankan keamanan Israel sebagai "kunci perdamaian," menyatakan, 

"Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan begitu kita bisa memiliki perdamaian sejati, perdamaian yang nyata, tanpa kebencian dan tanpa kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara,” ucap Presiden Prabowo.

Ia memposisikan kemerdekaan Palestina bukan sebagai perpecahan, melainkan sebagai "persatuan," sebuah keharusan moral yang terkait dengan kredibilitas PBB. 

Untuk mendukung kata-kata dengan tindakan, ia berjanji bahwa Indonesia siap mengerahkan "20.000 atau bahkan lebih" pasukan penjaga perdamaian ke Gaza, dengan syarat mendapat persetujuan Dewan Keamanan. 

>> Baca Selanjutnya