Opini

Reklamasi Pesisir dan Pertanyaan tentang Keadilan Lingkungan

Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes., Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, memaparkan materi Kajian Lingkungan Hidup sebagai Dasar Pengelolaan Reklamasi Pesisir dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Naskah Akademik Pengelolaan Reklamasi Pesisir, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Perikanan (PK–KKP) RI bekerja sama dengan Perkumpulan Ahli Rekayasa Pantai Indonesia (PARPI), di Hotel Akmani  Legian, Bali, 20-31 DESEMBER 2025. Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes., Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin, memaparkan materi Kajian Lingkungan Hidup sebagai Dasar Pengelolaan Reklamasi Pesisir dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Naskah Akademik Pengelolaan Reklamasi Pesisir, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Perikanan (PK–KKP) RI bekerja sama dengan Perkumpulan Ahli Rekayasa Pantai Indonesia (PARPI), di Hotel Akmani Legian, Bali, 20-31 DESEMBER 2025.

Oleh:Anwar Daud*

Artikel ini merupakan pengembangan dari materi yang saya presentasikan pada acara Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Naskah Akademik Pengelolaan Reklamasi Pesisir, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Perikanan (PK–KKP) RI, bagian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, bekerja sama dengan Perkumpulan Ahli Rekayasa Pantai Indonesia (PARPI). Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Akmani Legian Bali, Makassar, pada 20-31 Desember 2025.

FGD tersebut mempertemukan para akademisi, perancang kebijakan, dan praktisi pesisir dalam satu ruang dialog yang penting: bagaimana memastikan reklamasi pantai tidak melahirkan masalah baru yang lebih besar daripada manfaat yang dijanjikannya.

Acara ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan kunci yang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir nasional. Hadir sebagai tokoh sentral Ketua Umum Perkumpulan Ahli Rekayasa Pantai Indonesia (PARPI), Prof. Dr. Ir. Muhammad Arsyad Thaha, MT, yang juga menjabat sebagai Wali Amanat Universitas Hasanuddin. Dari unsur pemerintah pusat, forum ini diikuti oleh Direktur Jasa Kelautan, Direktur Pengelolaan Pesisir, serta perwakilan Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang memastikan diskusi berjalan selaras dengan kerangka regulasi dan kebijakan nasional.

Selain itu, seluruh narasumber dan pembahas yang terlibat dalam penyusunan naskah akademik turut hadir dan berkontribusi aktif dalam diskusi. Kehadiran perwakilan Pemerintah Provinsi Bali memperkaya perspektif daerah, khususnya terkait dinamika pengelolaan pesisir di wilayah dengan tekanan pembangunan tinggi. Forum ini juga melibatkan organisasi masyarakat sipil dan LSM, yang membawa suara kepentingan lingkungan dan masyarakat pesisir, sehingga diskusi berlangsung lebih inklusif, kritis, dan berimbang.

Di Mana Laut Berakhir dan Darat Dimulai, Konflik Sering Dimulai

Reklamasi pantai kerap dipahami sebagai solusi teknis atas keterbatasan lahan. Kota tumbuh, pelabuhan diperluas, kawasan bisnis dirancang—semua terdengar rasional. Namun di pesisir, garis pantai bukan sekadar koordinat geografis. Ia adalah ruang hidup. Di sanalah nelayan menambatkan perahu, ekosistem berkembang, dan sejarah lokal bertahan dari generasi ke generasi.

Ketika laut ditimbun dan darat “diciptakan”, yang berubah bukan hanya bentang alam, tetapi juga relasi sosial dan ekologi. Karena itu, reklamasi sejatinya bukan sekadar proyek konstruksi, melainkan keputusan ekologis dan politik sekaligus.

Mengapa Kajian Lingkungan Hidup Menjadi Titik Awal

Kajian Lingkungan Hidup hadir untuk mengajukan pertanyaan yang sering diabaikan: seberapa jauh lingkungan mampu menanggung perubahan yang kita rencanakan?

Melalui kajian ini, kita menilai daya dukung dan daya tampung lingkungan pesisir—mulai dari mangrove, padang lamun, hingga terumbu karang. Kita membaca ulang dinamika arus laut, sedimentasi, abrasi, dan potensi banjir rob. Lebih penting lagi, kajian ini mengukur dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Tanpa kajian lingkungan hidup yang serius, reklamasi berisiko menjadi praktik pemindahan masalah dari satu ruang ke ruang lain—dari pusat kota ke kampung nelayan, dari hari ini ke generasi mendatang.

Hukum Tidak Sekadar Administrasi

Kerangka hukum Indonesia sebenarnya telah memberi rambu yang jelas. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir menegaskan bahwa reklamasi hanya dapat dilakukan bila manfaat sosial-ekonominya lebih besar daripada biaya ekologinya.

Di sinilah dua instrumen utama bekerja. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) memastikan bahwa kebijakan dan tata ruang laut telah diuji secara ekologis sebelum proyek dirancang. Sementara AMDAL menilai dampak konkret di lapangan—baik di lokasi reklamasi maupun di lokasi pengambilan material pasir.

Reklamasi hampir selalu masuk kategori kegiatan berisiko tinggi. Artinya, tanpa AMDAL yang sah dan partisipatif, proyek reklamasi bukan hanya lemah secara etis, tetapi juga rapuh secara hukum.

Hutan mangrove dan terumbu karang membentuk satu kesatuan ekosistem pesisir yang saling menopang—mangrove melindungi garis pantai dan menyaring sedimen, sementara terumbu karang menjaga keanekaragaman hayati laut dan ketahanan ekologi wilayah pesisir.
Hutan mangrove dan terumbu karang membentuk satu kesatuan ekosistem pesisir yang saling menopang—mangrove melindungi garis pantai dan menyaring sedimen, sementara terumbu karang menjaga keanekaragaman hayati laut dan ketahanan ekologi wilayah pesisir.


Laut Tidak Pernah Bekerja Sendiri

Secara ekologis, laut adalah sistem yang saling terhubung. Perubahan arus di satu titik dapat memicu abrasi di wilayah lain. Pengurukan dapat mengubah batimetri dan memicu genangan di daratan eksisting. Kekeruhan air akibat material uruk berpotensi menutup terumbu karang dan mematikan ekosistem bawah laut.

Pada level biologi, hilangnya benthos dan plankton berarti terganggunya rantai kehidupan laut. Jika reklamasi berada di area pemijahan atau feeding ground ikan, maka dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi langsung pada dapur-dapur nelayan.

 Seorang nelayan membawa hasil tangkapan laut di pesisir—potret kerja sunyi yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi lokal, sekaligus menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan ekosistem pesisir dan proyek reklamasi.(Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah).
Seorang nelayan membawa hasil tangkapan laut di pesisir—potret kerja sunyi yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi lokal, sekaligus menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan ekosistem pesisir dan proyek reklamasi.(Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah).


Ketika Nelayan Menjadi Statistik

Dalam banyak konflik reklamasi, nelayan sering muncul sebagai angka—jumlah kepala keluarga terdampak, nilai kompensasi, atau statistik sosial ekonomi. Padahal, bagi mereka, laut bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi identitas dan keberlanjutan hidup.

Reklamasi tidak boleh memutus akses nelayan ke laut atau memperpanjang jarak melaut yang berarti biaya bahan bakar lebih besar. Jika wilayah tangkap hilang, negara mewajibkan adanya solusi yang setara dan berkelanjutan—bukan sekadar kompensasi sesaat.

Tak kalah penting, masyarakat pesisir harus dilibatkan secara bermakna dalam proses AMDAL. Ketika partisipasi publik hanya formalitas, konflik hukum hampir selalu menjadi kelanjutannya.

RKL–RPL: Janji yang Harus Dijaga

Persetujuan AMDAL bukan akhir, melainkan awal tanggung jawab. Melalui dokumen Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL–RPL), pengembang wajib membuktikan bahwa mitigasi bukan sekadar janji di atas kertas.

Pemasangan silt curtain, penyediaan alur pelayaran nelayan, restorasi mangrove, atau pembangunan terumbu buatan adalah bentuk konkret dari tanggung jawab tersebut. Semua harus dipantau secara berkala dan dilaporkan secara transparan kepada publik.

Masyarakat sebagai Pengawas yang Sah

Hukum Indonesia memberi ruang penting bagi masyarakat sebagai pengawas eksternal. Dokumen AMDAL bukan dokumen rahasia. Warga berhak mengakses, mengkritik, bahkan menggugat bila terjadi pelanggaran.

Lebih dari itu, perlindungan anti-SLAPP menjamin bahwa warga dan pejuang lingkungan tidak dapat dikriminalisasi karena menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan pesisir. Ini adalah fondasi penting demokrasi ekologis.

Pulau hasil reklamasi membentuk lanskap pesisir baru—ikon kemajuan urban sekaligus pengingat bahwa setiap perluasan daratan membawa konsekuensi ekologis dan sosial yang harus dikelola secara hati-hati dan berkeadilan. (Sumber foto:Palm Jumeirah, Dubai).
Pulau hasil reklamasi membentuk lanskap pesisir baru—ikon kemajuan urban sekaligus pengingat bahwa setiap perluasan daratan membawa konsekuensi ekologis dan sosial yang harus dikelola secara hati-hati dan berkeadilan. (Sumber foto:Palm Jumeirah, Dubai).


Reklamasi sebagai Ujian Moral Pembangunan

Pada akhirnya, reklamasi pantai bukan sekadar soal menciptakan lahan baru. Ia adalah ujian tentang bagaimana kita memahami pembangunan. Apakah pembangunan dimaknai semata sebagai pertumbuhan ekonomi, atau sebagai upaya menjaga keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial?

Kepatuhan terhadap instrumen hukum lingkungan bukan hambatan pembangunan. Ia justru menjadi pagar etis agar pembangunan tidak berjalan dengan mengorbankan yang paling rentan.

Di pesisir, setiap keputusan meninggalkan jejak panjang. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: jejak seperti apa yang ingin kita wariskan?

*Penulis adalah Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin