Internasional

Retorika Nuklir Dibayangi Ancaman Skandal Seks Epstein

seks

WASHINGTON, UNHAS.TV - Beberapa pengamat internasional menilai bahwa Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, tengah berupaya mengalihkan perhatian publik dari skandal seksual Jeffrey Epstein dengan memanaskan ketegangan geopolitik, termasuk terhadap Rusia.

Klaim ini mengemuka setelah retorika keras antara Trump dan mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, meningkat dalam beberapa hari terakhir.

Menurut laporan The Washington Post dan Foreign Policy, ketegangan dimulai ketika Trump memerintahkan pengerahan dua kapal selam nuklir Amerika Serikat ke wilayah dekat Rusia—sebuah keputusan yang dinilai sebagai bentuk unjuk kekuatan (Washington Post, 30/07/2025). Trump dikabarkan menyampaikan bahwa tindakan ini bertujuan agar “Medvedev tahu tempatnya.”

Sebagai balasan, Medvedev menyindir bahwa bukan hanya badan intelijen Israel (Mossad) yang memiliki rekaman “penyimpangan seksual” Trump di masa lalu, melainkan Rusia juga memiliki dokumen sejenis dalam arsip mereka. Ia menyatakan, “Trump juga harus tahu tempatnya.”

Komentar Medvedev merujuk pada keterlibatan Trump dalam skandal Jeffrey Epstein, miliarder Amerika yang didakwa melakukan eksploitasi seksual terhadap gadis-gadis di bawah umur untuk kalangan elite. Nama Trump disebutkan beberapa kali dalam dokumen terkait Epstein, seperti diungkap dalam laporan investigasi New York Times dan BBC Panorama (2023–2024).

Menurut data dari Federation of American Scientists, hingga Januari 2025, terdapat sekitar 12.241 hulu ledak nuklir di dunia. Sekitar 87% dari jumlah tersebut berada di tangan dua negara: Amerika Serikat dan Rusia (FAS, 2025).

Amerika memiliki 1.419 hulu ledak strategis aktif, sedangkan Rusia memiliki sekitar 1.549. Analisis Arms Control Association memperkirakan bahwa jika terjadi konfrontasi nuklir antara keduanya, dalam hitungan jam pertama saja, lebih dari 34 juta orang dapat tewas dan 57 juta lainnya terluka.

Ketegangan ini mencapai puncaknya pada awal Agustus ini ketika Trump mengeluarkan ultimatum kepada Rusia agar menyetujui gencatan senjata, atau AS akan menjatuhkan sanksi ekonomi baru. Sehari kemudian, Medvedev menanggapi ancaman tersebut sebagai “langkah menuju perang” dan mengingatkan Trump tentang sistem pertahanan nuklir Rusia yang dikenal sebagai “Dead Hand” atau “Tangan Mati.” Sistem ini, peninggalan era Perang Dingin, memungkinkan peluncuran otomatis senjata nuklir jika pusat komando Rusia dilumpuhkan—sebuah sistem yang dikonfirmasi eksistensinya oleh Bulletin of the Atomic Scientists.

Dalam pernyataan di media sosial, Medvedev juga menyindir hubungan Trump dengan skandal Epstein, menulis bahwa Mossad bukan satu-satunya yang menyimpan video cabul sang presiden. Trump membalas dengan menyebut Medvedev sebagai “mantan presiden gagal” dan memperingatkannya untuk “berhati-hati dengan kata-katanya.”

Namun, New York Times menyebut tidak dapat mengonfirmasi apakah benar dua kapal selam nuklir AS telah dikirim, karena informasi ini tergolong sangat rahasia di Departemen Pertahanan AS (NYT, 01/08/2025).

Sebagian pengamat menilai bahwa pernyataan Trump lebih bersifat retorik ketimbang militeristik. Namun, penggunaan istilah teknis seperti "konsekuensi tak terduga" (unintended consequences) dalam pernyataan resminya mengindikasikan potensi eskalasi lebih lanjut. “Kata-kata itu penting, dan dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan,” tulis Trump di media sosial.


>> Baca Selanjutnya