
Trump dalam ajang kontes Miss USA ke-49. Dari tahun 1996 hingga 2015, Trump merupakan pemilik ajang kontes kecantikan Miss Universe, Miss USA, dan Miss Teen USA. Foto: Steve Azzara.
Keterkaitan dengan Skandal Seks Epstein
Medvedev bukan satu-satunya yang mengaitkan retorika perang dengan skandal Epstein. Menurut laporan Washington Post berjudul “What Trump Wants: More Tariffs, Less Epstein” (02/08/2025), presiden itu kerap menggunakan isu luar negeri untuk mengalihkan perhatian dari kasus yang menjeratnya.
FBI diketahui baru-baru ini menghapus nama Trump dari dokumen publik terkait penyelidikan Epstein, dengan alasan perlindungan privasi karena Trump pada saat itu masih warga sipil (Reuters, 01/08/2025). Namun, keputusan ini memicu kritik luas karena dinilai sarat tekanan politik.
Seorang blogger Yahudi-Amerika, Yosef Yanovsky, mengklaim bahwa Trump mulai kembali diserang secara politik dalam kasus Epstein setelah ia menolak usulan Israel untuk melakukan serangan terhadap Iran selama satu minggu penuh pada awal 2025.
“Ketika Trump berselisih dengan Netanyahu, kasus Epstein kembali muncul,” tulis Yanovsky dalam blog pribadinya yang dikutip Haaretz (28/07/2025).
Klaim tersebut diperkuat oleh Ari Ben-Menashe, mantan perwira intelijen Israel, yang dalam wawancara dengan The Guardian (2020) pernah menyatakan bahwa rumah Epstein kemungkinan besar difasilitasi oleh Mossad sebagai alat untuk memeras tokoh-tokoh penting Barat demi kepentingan Israel.
Dalam situasi yang sangat sensitif ini, para analis seperti Stephen Walt dari Foreign Policy (01/08/2025) mengingatkan bahwa Trump memiliki kecenderungan untuk menggunakan kebijakan luar negeri yang provokatif ketika menghadapi tekanan domestik.
“Ketika dia terpojok secara politik, dia cenderung mencari panggung di luar negeri untuk membalikkan narasi,” tulis Walt.
Meskipun belum ada indikasi kuat bahwa Amerika Serikat dan Rusia benar-benar di ambang perang nuklir, perseteruan personal antara dua tokoh impulsif—Trump dan Medvedev—dapat menciptakan ketegangan yang berbahaya.
Terlebih ketika retorika nuklir dipakai sebagai alat politik untuk menutup-nutupi skandal, dunia hanya bisa berharap bahwa ini semua akan berhenti di tataran kata-kata, bukan rudal.(*)