
Ilustrasi Haji
Membedah Simbol Melalui Lensa Semiotika
Untuk memahami lebih dalam makna di balik gelar haji, tim menggunakan pendekatan etnografi kualitatif, dengan observasi lapangan dan wawancara mendalam. Mereka juga menerapkan teori semiotika Roland Barthes, yang membedakan antara makna denotatif dan konotatif dalam simbol sosial.
“Dalam makna denotatif, gelar haji hanyalah tanda bahwa seseorang telah menunaikan ibadah ke Mekah,” jelas Akhdan Nur Syauqi. “Namun secara konotatif, ia memuat nilai kehormatan, kekayaan, dan otoritas moral—sesuatu yang jauh melampaui makna religius aslinya.”
Pendekatan ini memungkinkan tim untuk membongkar kontradiksi antara makna spiritual dan makna simbolik, sebagaimana tertuang dalam artikel ilmiah mereka yang tengah disiapkan:"Tahawwulat Laqab al-Hajj: Theory of Semiotics atas Kontradiksi Privilege Simbolik Haji pada Falsafah Siri’ sebagai Penguatan Nilai Lokal Suku Bugis.”
Merekam Budaya, Menyapa Dunia Digital
Penelitian yang berlangsung sejak Juli hingga Oktober 2025 ini diharapkan menghasilkan tiga luaran utama:
- Artikel ilmiah yang akan dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi,
- Laporan riset komprehensif untuk pendokumentasian budaya Bugis, dan
- Media edukasi digital melalui akun Instagram @pkmlaqabalhajj.id, yang menampilkan hasil riset dalam bentuk infografik, video pendek, dan testimoni warga.
Menurut Rinaldi Rachman, penggunaan media sosial adalah bagian dari upaya mereka menjembatani riset akademik dengan masyarakat luas. “Kami ingin masyarakat, terutama generasi muda, melihat bahwa penelitian sosial bukan sekadar teks ilmiah di kampus. Ia bisa menjadi cermin untuk memahami diri dan budaya kita sendiri,” ujarnya.
Refleksi: Antara Spiritualitas dan Status Sosial
Bagi Halifa, inti dari riset ini bukanlah mengkritik mereka yang berhaji, tetapi menyoroti bagaimana makna sakral dapat bergeser dalam konteks sosial modern. “Kami berharap masyarakat Bugis dapat kembali melihat gelar haji sebagai simbol kesalehan dan ketulusan spiritual, bukan semata prestise sosial,” katanya menutup wawancara.
Penelitian ini menjadi salah satu contoh bagaimana Universitas Hasanuddin melalui program PKM-RSH berperan aktif dalam memahami dan melestarikan nilai-nilai lokal Nusantara. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi budaya, upaya semacam ini penting agar tradisi luhur seperti siri’ tidak kehilangan maknanya.
Gelar haji, dalam pandangan tim muda Unhas ini, bukan hanya perjalanan menuju Baitullah, tetapi juga perjalanan panjang menuju pemahaman diri, identitas, dan kemanusiaan dalam bingkai budaya Bugis yang sarat nilai. (*)
Laporan Mutia Aulia, Tim Peneliti.