Budaya

Rusa, Seksualitas, dan Kelas Sosial: Membaca Ulang Sejarah Perburuan di Sulawesi




Seorang pemburu ulung diasosiasikan dengan karakter yang teguh, tak mudah goyah, dan berani mengambil keputusan—sifat-sifat yang ideal untuk calon suami atau pemimpin kampung. Maka tidak berlebihan jika perburuan rusa kala itu juga menjadi “panggung jodoh” bagi para bangsawan muda.

Perburuan, dengan demikian, adalah performa. Di hadapan alam, rakyat, dan mitologi, para elite menunjukkan siapa yang paling layak diberi ruang dalam cerita besar masyarakat.

Rusa, dalam konteks ini, bukan sekadar mangsa—tetapi simbol kemenangan atas rintangan, baik fisik maupun sosial. Ia sekaligus medium sublimasi antara kekuasaan, seksualitas, dan kehormatan.

Sayangnya, narasi seperti ini jarang muncul dalam buku pelajaran atau wacana publik. Kini, rusa hanya tampak dalam kandang di taman kota, atau muncul dalam cerita rakyat yang kehilangan akarnya. Padahal, jejak sejarah rusa bisa menjadi pintu masuk untuk memahami ekologi politik, jaringan dagang, hingga simbolisme spiritual masyarakat Sulawesi.

“Rusa Sulawesi pernah menjadi komoditas penting,” ujar Amrullah. “Ia ditukar lintas pulau, bahkan lintas benua.” Dalam catatan Belanda dan Spanyol, rusa dari kawasan Sulawesi menjadi simbol hadiah diplomatik dan alat barter di antara kerajaan-kerajaan Asia Tenggara.

Amrullah percaya, sejarah lokal seperti ini adalah harta karun yang belum digali tuntas. Ia menyebut bahwa sebagian besar literatur tentang sejarah Sulsel masih didominasi penulis asing. “Itu bukan salah mereka. Mereka membuka jalan,” ujarnya. “Tapi sekarang giliran kita menulis dari perspektif kita sendiri.”

Dari seekor rusa, kita diingatkan bahwa sejarah bisa bersembunyi di balik hutan, menunggu dijemput dengan kesabaran dan ketekunan. Bagi Amrullah, rusa bukan sekadar binatang buru.

Ia adalah pintu untuk menyusuri memori sosial yang selama ini tersisih. Jika narasi ini dirawat, bukan tak mungkin hutan-hutan bekas arena perburuan dahulu bisa disulap menjadi situs budaya yang hidup—tempat masyarakat belajar, mengenang, dan menafsir ulang siapa diri mereka.

Karena di balik keheningan rusa yang berlari, selalu ada cerita tentang kuasa, cinta, dan harga diri—dan mungkin juga, tentang bagaimana tubuh, hasrat, dan hutan pernah bertaut dalam satu narasi bangsawan.