MAKASSAR, UNHAS.TV - Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, memunculkan spekulasi keterlibatan dua aktor global yang memiliki kepentingan besar di kawasan tersebut, yakni Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, Agussalim Burhanuddin, SIP MIRAP PhD mengungkapkan bahwa kedua negara tersebut mengambil posisi penting dalam dinamika konflik, meski tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran militer.
“Rusia sudah lama menjalin hubungan erat dengan Iran, baik secara politik maupun militer. Saat invasi ke Ukraina, Rusia terbukti menggunakan drone kamikaze ‘Shahed’ produksi Iran dalam jumlah besar,” ujar Agussalim dalam wawancara eksklusif dengan Unhas.TV.
Ia menambahkan, dukungan Rusia kepada Iran sejauh ini bersifat tidak langsung. Meski tidak memiliki legitimasi kuat untuk ikut campur secara terbuka dalam konflik terbaru, Rusia telah menunjukkan indikasi dukungan politik dan logistik.
“Ada wacana bahwa Rusia akan mentransfer sistem pertahanan udara S-400 ke Iran, yang diyakini mampu menghadapi jet tempur generasi kelima seperti F-35 milik Israel,” jelasnya.
Israel sendiri, menurut Agussalim, memiliki keunggulan udara (air superiority) di kawasan Timur Tengah karena penguasaan pesawat tempur generasi kelima yang dapat menembus sistem pertahanan konvensional.
Iran sebelumnya hanya memiliki sistem S-300, yang tidak cukup memadai untuk menandingi F-35. Dukungan Rusia berupa sistem S-400 dapat mengubah kalkulasi militer di kawasan.
Sementara itu, Tiongkok mengambil pendekatan yang jauh lebih berhati-hati. Agussalim menjelaskan bahwa China tidak menunjukkan dukungan militer secara terbuka, tetapi secara politik tetap berpihak pada Iran.
“China mengutuk tindakan Israel dengan bahasa keras, namun tidak terlihat memberikan bantuan militer secara eksplisit,” terangnya.
Namun demikian, terdapat indikasi dukungan teknologi siber dari Tiongkok terhadap Iran. Menurut Agussalim, sebelum serangan besar pada 13 Juni, kekuatan siber Tiongkok berada di pihak Iran, dalam bentuk serangan siber yang ditujukan ke sistem pertahanan digital Israel.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya posisi strategis Iran dalam kebijakan energi luar negeri Tiongkok. Negara ini memiliki ketergantungan energi dari Iran.
“China memiliki kepentingan besar terhadap Iran karena pasokan minyak. Sekitar 80% kebutuhan minyak China berasal dari kawasan Timur Tengah, dan seperempat lalu lintas minyak dunia melewati Selat Hormuz,” paparnya.
Penutupan Selat Hormuz oleh Iran, jika terjadi, akan menjadi bencana bagi stabilitas ekonomi global, termasuk bagi Tiongkok. Oleh karena itu, meski mendukung Iran, Tiongkok tetap mengamati situasi dengan sangat hati-hati.
Agussalim juga menyebut bahwa konflik ini membuka peluang baru dalam perimbangan kekuatan global. “Jika Amerika Serikat terlibat penuh dalam konflik Timur Tengah, maka perhatian militernya akan teralihkan dari kawasan Indo-Pasifik. Ini bisa dimanfaatkan Tiongkok untuk meningkatkan tekanan terhadap Taiwan,” jelasnya.
Indikasi keterlibatan Tiongkok juga terlihat dari keberangkatan pesawat militer non-tempur ke Teheran di awal konflik.
“Menariknya, transponder pesawat dimatikan di tengah perjalanan, sehingga tidak diketahui pasti apakah pesawat tersebut membawa bantuan logistik, warga negara China, atau perangkat militer,” pungkas Agussalim.
Dengan dinamika ini, baik Rusia maupun Tiongkok memainkan peran penting namun tak kentara, sebagai bagian dari strategi geopolitik jangka panjang mereka untuk menantang dominasi Amerika Serikat dan membentuk tatanan dunia multipolar. (*)