MAKASSAR, UNHAS.TV – Pusat Disabilitas (Pusdis) Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar seminar bertajuk “Makassar Inklusif” sebagai rangkaian memperingati dua tahun kiprahnya.
Acara yang digelar di Arsjad Rasjid Lecture Theatre, Kamis (26/6/2025) ini bukan sekadar refleksi usia lembaga, tetapi langkah nyata mendorong Makassar sebagai kota wisata yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Seminar ini menjadi forum strategis yang mempertemukan pemangku kepentingan dari berbagai sektor, akademisi, aktivis, komunitas difabel, pelaku industri pariwisata, dan pemerintah, untuk menyatukan visi pariwisata inklusif bukan pilihan, melainkan keharusan di kota yang tengah tumbuh sebagai destinasi unggulan.
Konsep pariwisata ramah difabel diposisikan sebagai indikator keberadaban kota modern. Tak sekadar jalan landai atau lift tambahan, inklusi menyangkut cara berpikir dan keberpihakan.
Yakni dari aksesibilitas fasilitas publik, penyediaan informasi yang inklusif, hingga membangun kesadaran pelaku industri agar layanan wisata benar-benar bisa diakses semua orang, tanpa terkecuali.
Ketua Panitia Megarezki, selaku ketua panitia, menegaskan bahwa seminar ini adalah langkah awal menuju sinergi yang berkelanjutan.
“Kami ingin membangun kesadaran kolektif bahwa pariwisata inklusif dimulai dari kolaborasi nyata lintas sektor,” ungkap mereka.
Senada dengan itu, Ketua Pusat Disabilitas Unhas Dr Ishak Salim SIP MA menyampaikan bahwa akses wisata bukan sekadar fasilitas tambahan, tapi hak dasar setiap warga negara.
“Berwisata adalah hak. Karena itu kami ingin berkontribusi dari Unhas, secara lokal, untuk menjadikan Makassar lebih inklusif,” ujarnya.
Ia menambahkan, kegiatan ini akan dilanjutkan dengan asesmen langsung di kawasan Pantai Losari, pertunjukan seni inklusif, dan deklarasi simbolik di atas kapal Phinisi—menandai komitmen bersama untuk menghadirkan ruang wisata tanpa hambatan.
Dengan pendekatan kolaboratif dan berkelanjutan, Pusat Disabilitas Unhas menghadirkan pesan kuat: bahwa kota yang layak dikunjungi, adalah kota yang ramah untuk semua.
Karena inklusi bukan belas kasihan—melainkan bentuk keadilan yang seharusnya menjadi standar dalam setiap pembangunan.
(Andi Putri Najwah / Andrea Ririn Karina / Unhas.TV)