
Gempa di Palu
Dari Jepang, ia mengikuti berbagai program akademik dan penelitian hingga ke Amerika Serikat. Salah satu momen penting dalam perjalanannya adalah ketika ia terpilih untuk mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP), sebuah program bergengsi yang mempertemukan para pemimpin masa depan dari berbagai negara dengan institusi-institusi penting di AS.
“Ilimu harus diuji di tempat yang jauh,” seorang profesor pernah berkata kepadanya. Maka, Adi menerjemahkan bebatuan menjadi hipotesis, hipotesis menjadi kesimpulan, dan kesimpulan menjadi temuan yang menggema di forum-forum ilmiah internasional.
Di Amerika, ia bertemu dengan para pakar, pejabat, dan pemikir global, berdiskusi tentang eksplorasi sumber daya alam dan bagaimana ilmu pengetahuan bisa menjadi pilar pembangunan yang berkelanjutan. “Kita harus berhenti hanya menjadi penonton di negeri sendiri,” katanya dalam satu kesempatan. “Sumber daya kita luar biasa, tapi tanpa pemahaman yang cukup, kita hanya akan menjadi penonton dari eksploitasi besar.”
Lalu ia pulang. Sebab, sejauh apa pun perjalanan seseorang, ada sesuatu yang selalu memanggilnya kembali. Universitas Hasanuddin, tempat ia pertama kali belajar membaca bumi, kini menyambutnya kembali sebagai seorang Guru Besar. Tetapi jabatan itu, seperti halnya semua gelar akademik, hanya sekadar penanda administratif. Yang lebih penting adalah apa yang ia bawa pulang: cara berpikir yang lebih luas, cara bertanya yang lebih kritis, dan keyakinan bahwa ilmu harus kembali ke masyarakat, seperti sungai yang akhirnya menemukan lautnya.
Sebagai Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan, dan Bisnis, Adi Maulana dipercaya untuk membawa Unhas lebih dekat ke dunia industri dan inovasi. Tetapi ada hal yang tak bisa ia lepaskan—hasratnya sebagai peneliti. Seorang akademisi bisa menduduki jabatan administratif, tetapi panggilan ilmu sering kali lebih kuat daripada segala bentuk birokrasi.
Salah satu penelitian terbesarnya adalah tentang mineral tanah jarang—unsur-unsur kritis yang menjadi bahan utama dalam teknologi tinggi, dari ponsel hingga kendaraan listrik. Indonesia, dengan kekayaan geologinya, menyimpan potensi besar dalam mineral tanah jarang, tetapi pemanfaatannya masih minim. Adi ingin mengubah itu. Dengan risetnya, ia menunjukkan bahwa Sulawesi dan daerah lainnya di Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam rantai pasok global mineral strategis ini.
Ketika gempa mengguncang Palu pada tahun 2018, dunia bertanya: Mengapa ini terjadi? Bagaimana mekanismenya? Adi Maulana, yang memahami bahasa bumi, maju ke depan.
Ia menjelaskan kepada publik, kepada ilmuwan, kepada media internasional tentang patahan Palu-Koro yang bergerak cepat, tentang bagaimana bencana itu bukan sekadar kehendak alam yang tak terduga, tetapi sebuah fenomena yang dapat dipelajari, dipahami, dan diantisipasi.
Bagi Adi Maulana, setiap guncangan adalah bisikan semesta.
Di balik tanah yang terbelah, di antara batuan yang bergeser, bumi sedang berbicara. Tentang masa lalu yang bisa dijadikan peringatan. Tentang masa depan yang bisa dipersiapkan. Tentang sebuah negeri yang ditakdirkan untuk hidup di atas sesuatu yang terus bergerak, dan bagaimana manusia di dalamnya harus belajar membaca tanda-tanda.