Opini
Polhum

Sebagaimana Tan Malaka, Hasan Nasbi Juga Menepi Lebih Awal

oleh: Yusran Darmawan*

Hasan Nasbi mundur. Seperti angin yang pelan-pelan reda, kepergiannya tak membuat gaduh. Tak ada pidato panjang, tak ada perpisahan dramatis. Tapi dalam diam itu, terdengar sesuatu: bunyi retak dari ruang yang selama ini terlalu hening—ruang komunikasi kekuasaan.

Mungkin ia kecewa. Tapi mungkin juga ia hanya menyadari sesuatu yang sudah terlalu lama dibiarkan: bahwa cahaya tak selalu datang, bahkan ketika seseorang telah sabar menunggu. Maka ia memilih pergi. Bukan karena kalah. Tapi karena ia tahu, kemenangan yang sesungguhnya adalah tidak menjadi bagian dari kegagalan yang sudah ditentukan sejak awal.

Hasan bukan nama baru. Ia tak lahir dari partai, tapi dari belantara opini publik. Ia mendampingi Jokowi, lalu Prabowo. Ia ada ketika perang opini terjadi di ruang digital. Ia membentuk narasi, menjaga wibawa, merancang strategi.

Ia bukan sekadar pembuat meme, apalagi penggembira. Ia adalah pejuang dalam senyap, yang percaya bahwa narasi adalah instrumen kekuasaan, dan persepsi adalah arena pertempuran.

BACA: Tim Komunikasi Prabowo Harus Berguru ke Era SBY

Tapi kekuasaan, seperti yang sering terjadi, tak selalu tahu caranya membalas kerja sunyi. Di sana, seseorang bisa setia tapi tetap diragukan. Bisa berjasa tapi diabaikan. Bisa dipercaya oleh publik, tapi tidak oleh lingkaran sempit kekuasaan.

Hasan diberi jabatan, tapi tidak diberi kuasa. Ia ditunjuk menjadi dirigen, namun tak pernah menerima tongkat untuk mengatur orkestra. Ia diminta bertanggung jawab atas simfoni yang tak pernah ia atur. Pemerintahan ini berjalan seperti panggung besar yang penuh musisi, tapi tak satu pun yang mengikuti partitur.

Di permukaan, semuanya terlihat kolektif. Tapi kenyataannya: masing-masing berjalan sendiri, berbicara sendiri, menjawab dengan naluri pribadi. Presiden hanya mempercayai orang-orang lama, yang barangkali setia, tapi tak cukup peka pada medan yang berubah.

The Economist pernah mencatat: Prabowo adalah pemimpin yang hanya percaya pada lingkaran terdekatnya—dan di situ pula kelemahan strategis itu bertumbuh. Ketika panggung dunia menuntut kelincahan komunikasi dan kecakapan diplomasi, yang tampil justru kebingungan. Karena tidak ada sistem yang memastikan satu arah suara.

Mungkin benar, Hasan pernah blunder. Saat kasus kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo mencuat, ia menanggapi secara kaku dan datar. Harusnya ia berdiri di tengah. Sebagai wakil negara, ia semestinya menunjukkan empati kepada media, lalu menyampaikan pernyataan yang tepat. Tak sulit sebenarnya: cukup mengatakan bahwa negara peduli dan mengutuk segala bentuk teror.

Tapi Hasan Nasbi terlampau hitam-putih. Ia bukan tipe politisi yang harus mematut wajah manis saat berhadapan dengan cermin. Ia lebih seperti aktivis yang tak tahan dengan segala dramatisasi.

Ia lupa, bahwa panggung ini bukan lagi jalanan, bukan lagi debat terbuka di media sosial. Ini panggung negara, di mana rekayasa dan persepsi bukan kebohongan, tapi kebutuhan untuk menjaga wajah publik tetap tenang.

>> Baca Selanjutnya