Opini
Polhum

Sebagaimana Tan Malaka, Hasan Nasbi Juga Menepi Lebih Awal




Di titik ini, ia tampil sebagai orang Sumatera yang berbicara lepas, tanpa menyaring kalimat, tanpa menghitung akibat. Seakan-akan belum move on dari masa kampanye, ketika semua kritik harus dibalas agar seimbang. Ia lupa bahwa kini ia adalah pejabat negara. Dan komunikasi istana bukan medan perang. Ia adalah rumah—yang tugas utamanya bukan membalas, tapi mengelola kebaikan.

Hasan tidak pernah menjadi wajah komunikasi Prabowo. Ia tak berdiri di samping presiden dalam momen-momen penting. Ia tak tampak di foto peresmian, tak muncul dalam pidato kemenangan. Ia tetap berada di belakang layar. Seperti wayang yang tak diberi panggung.

Lalu orang mulai bicara pelan-pelan: “Dia orang Jokowi.” Sebuah tuduhan yang tidak hanya keliru, tapi juga dangkal. Seolah kekuasaan ini dimiliki oleh satu suku politik saja. Seolah negara bukan rumah bersama, melainkan warung kecil milik segelintir orang.

Padahal, seperti yang ditulis Hannah Arendt, "Politics is based on the fact of plurality." Politik bukan tentang keseragaman, tapi kemampuan menerima yang berbeda. Negara bukan ladang untuk balas budi, tapi ruang di mana berbagai pikiran bersilangan dan saling memperkaya. Jika semua diukur dari sejarah kedekatan, maka tak akan pernah ada masa depan bersama.

Hasan tidak sedang membela Jokowi atau Prabowo. Ia membela gagasan: tentang bagaimana kekuasaan mesti berbicara dengan warganya. Tapi mungkin justru di situlah masalahnya: sistem ini terlalu takut pada orang-orang yang membawa ide, bukan hanya loyalitas.

Saya teringat pada Kathleen Hall Jamieson, yang mengatakan, “The essence of presidential communication lies not in control, but in coherence.” Tapi adakah koherensi dalam pemerintahan ini? Yang kita saksikan justru kementerian yang berjalan sendiri-sendiri, pesan-pesan yang saling bertabrakan, dan publik yang makin asing dengan bahasa kekuasaan.

Hasan Nasbi pergi. Tapi yang menyedihkan bukan kepergiannya, melainkan kenyataan bahwa negara ini tak punya ruang untuk orang yang mencoba membenahi dari dalam. Ia mundur bukan karena kalah, tapi karena tak mungkin menang di atas panggung yang bahkan tak disusun.

Barangkali, di suatu tempat, Hasan duduk tenang. Seperti Tan Malaka setelah proklamasi kemerdekaan: menepi bukan karena menyerah, tapi karena tahu idealisme tak selalu hidup dalam gedung-gedung kekuasaan. Tan pernah berjalan sendiri, dengan keyakinan yang tak diakomodasi oleh sistem yang ia bantu lahirkan. Ia tahu, kadang-kadang, gagasan justru tumbuh subur di luar pagar istana.

Hasan, sebagai pengkaji Tan Malaka, barangkali memahami ini lebih dari siapa pun. Dan jika benar ia memilih jalan itu—jalan menepi yang sunyi—maka Prabowo pun bisa mengulang sejarah yang sama: seperti Sukarno yang kehilangan arah setelah ditinggal Tan, lalu Hatta.

Sebab kekuasaan yang menutup telinga pada suara-suara jernih, akan segera dipenuhi gema dari mereka yang hanya bicara untuk menyenangkan.

Pada akhirnya, barangkali negeri ini tidak kekurangan pembisik. Yang kurang adalah pendengar.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Pernah kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.