Kuliner

Sejarah Coto Makassar: Asal-Usul dan Kaitannya dengan Soto

Hubungan Coto Makassar dengan Soto

Coto Makassar sering disebut sebagai varian dari soto, sebuah hidangan berkuah khas Indonesia yang terdiri dari kaldu daging, sayuran, dan rempah-rempah. Namun, ada beberapa perbedaan signifikan antara Coto Makassar dan soto pada umumnya, baik dari segi sejarah, bahan, maupun penyajian.

Asal-Usul Soto

Menurut beberapa penelitian, soto berasal dari pengaruh kuliner Tionghoa yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke-18 hingga awal abad ke-19, terutama di pesisir pantai utara Jawa, seperti Semarang. Istilah "soto" diyakini berasal dari kata Tionghoa dalam dialek Hokkian, seperti cau do, jao to, atau chau tu, yang berarti "jeroan berempah".

Awalnya, soto menggunakan daging babi, tetapi karena mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, bahan tersebut diganti dengan daging sapi, ayam, atau kerbau, termasuk jeroannya.

Soto kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, diadaptasi dengan cita rasa lokal, sehingga muncul berbagai varian seperti Soto Betawi, Soto Kudus, Soto Lamongan, dan banyak lagi. Setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri, baik dari segi bumbu, isian, maupun cara penyajian.

Coto Makassar sebagai Cikal Bakal Soto?

Ada pandangan yang menyebutkan bahwa Coto Makassar, yang telah ada sejak abad ke-16, mungkin menjadi salah satu cikal bakal kuliner soto di Indonesia. Beberapa alasan yang mendukung pandangan ini adalah:

Kemiripan Bahan dan Teknik Memasak: Baik Coto Makassar maupun soto menggunakan daging dan jeroan sebagai bahan utama, yang direbus dalam waktu lama bersama rempah-rempah untuk menghasilkan kaldu yang kaya rasa. Pengaruh Tionghoa, seperti penggunaan tauco dalam Coto Makassar, juga sejalan dengan asal-usul soto yang dikaitkan dengan kuliner Tionghoa.

Sejarah yang Lebih Tua: Coto Makassar diperkirakan telah ada sejak tahun 1538, jauh sebelum soto dikenal di pesisir Jawa pada abad ke-18. Karena Makassar adalah pusat perdagangan yang ramai pada masa itu, ada kemungkinan pedagang Makassar membawa Coto Makassar ke daerah lain, yang kemudian menginspirasi masyarakat lokal untuk menciptakan varian soto mereka sendiri.

Penyebaran Budaya Kuliner: Kerajaan Gowa-Tallo memiliki hubungan dagang yang luas, termasuk dengan wilayah Jawa. Kuliner Coto Makassar, yang mudah diadaptasi dengan bahan lokal, bisa saja menjadi inspirasi bagi perkembangan soto di daerah lain.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua pihak. Ada yang berpendapat bahwa Coto Makassar dan soto berkembang secara paralel sebagai respons terhadap pengaruh Tionghoa dan kebutuhan masyarakat lokal akan hidangan berkuah yang bergizi. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada:

Warna Kuah: Kuah soto umumnya jernih dan kekuningan, menggunakan bumbu seperti kunyit dan jahe, sedangkan kuah Coto Makassar cenderung gelap dan kental karena penggunaan kacang tanah dan tauco.

Bahan Pelengkap: Soto biasanya disajikan dengan nasi, bihun, atau tauge, sementara Coto Makassar identik dengan ketupat atau burasa.

Jumlah Rempah: Coto Makassar menggunakan hingga 40 jenis rempah, jauh lebih banyak dibandingkan soto pada umumnya, yang cenderung lebih sederhana.

Aroma dan Rasa: Soto memiliki aroma segar karena tambahan jeruk nipis, sedangkan Coto Makassar lebih gurih dan pekat karena kombinasi rempah dan kacang tanah.

Perdebatan Identitas

Di kalangan masyarakat Makassar, ada kebanggaan tersendiri bahwa Coto Makassar dianggap berbeda dari soto. Beberapa orang bahkan menegaskan bahwa Coto Makassar adalah kuliner khas yang tidak berasal dari rumpun soto, melainkan memiliki identitas budaya sendiri yang erat kaitannya dengan sejarah dan tradisi suku Makassar. Meski demikian, dari perspektif kuliner nasional, Coto Makassar sering dimasukkan dalam kategori soto karena kemiripan bentuk dan penyajiannya.

Warisan dan Makna Budaya

Coto Makassar bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol identitas budaya Makassar. Hidangan ini mencerminkan kekayaan sejarah, kreativitas kuliner, dan nilai-nilai sosial masyarakat Makassar, seperti gotong royong dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisi menyantap Coto Makassar pada waktu tertentu, seperti antara pukul 09.00 hingga 11.00 pagi, atau menggunakan mangkuk kecil dan sendok bebek, menunjukkan betapa kuatnya keterkaitan hidangan ini dengan adat istiadat lokal.

Dari segi internasional, Coto Makassar juga telah membawa nama Indonesia ke kancah dunia. Pada tahun 2011, hidangan ini memenangkan Juara Pertama dalam Festival Kuliner “Pesta Juadah” di Universitas Kebangsaan Malaysia, mengalahkan puluhan kuliner dari berbagai negara. Keberhasilan ini menegaskan bahwa Coto Makassar tidak hanya lezat, tetapi juga memiliki daya tarik universal yang mampu diterima oleh lidah global.

Coto Makassar adalah warisan kuliner yang lahir dari perpaduan sejarah, budaya, dan kreativitas masyarakat Makassar. Berawal dari hidangan kerajaan pada abad ke-16, Coto Makassar berkembang menjadi kuliner yang dicintai oleh semua kalangan, dari rakyat jelata hingga wisatawan mancanegara.

Kaitannya dengan soto menunjukkan bagaimana kuliner Indonesia saling memengaruhi dan berevolusi, dengan Coto Makassar kemungkinan menjadi salah satu cikal bakal soto di Nusantara. Namun, lebih dari sekadar hidangan berkuah, Coto Makassar adalah cerminan identitas budaya Makassar yang kaya akan makna dan tradisi.

Dengan cita rasa yang khas dan sejarah yang panjang, Coto Makassar tetap menjadi salah satu kuliner tertua dan paling otentik di Indonesia. Bagi siapa pun yang ingin menyelami kekayaan budaya Sulawesi Selatan, semangkuk Coto Makassar adalah pintu gerbang yang sempurna untuk memahami jiwa dan semangat masyarakat Makassar.(*)