Kuliner

Sejarah Coto Makassar: Asal-Usul dan Kaitannya dengan Soto

Namun, ada pula cerita rakyat yang menyebutkan bahwa Coto Makassar justru berasal dari inisiatif masyarakat biasa. Salah satu versi menyebutkan seorang juru masak bernama Toak dari Kerajaan Bajeng, yang terletak di perbatasan Kabupaten Takalar dan Gowa, sebagai pencipta awal hidangan ini.


Coto Makassar. Picture by @Phinniethegoat

Toak terinspirasi untuk memanfaatkan jeroan kerbau yang biasanya dibuang setelah daging utama diolah untuk kalangan kerajaan. Dengan meracik jeroan tersebut bersama rempah-rempah lokal, Toak menciptakan hidangan yang kemudian diberikan kepada rakyat jelata, prajurit, dan bahkan pedagang asing. Resep ini akhirnya mendapat perhatian raja, yang kemudian menjadikan Coto Makassar sebagai sajian istimewa di istana.

Pengaruh budaya Tiongkok juga terlihat dalam perkembangan Coto Makassar, khususnya melalui penggunaan sambal tauco sebagai pelengkap. Tauco, yang terbuat dari kedelai fermentasi, adalah bahan khas kuliner Tionghoa yang dibawa oleh pedagang Tiongkok ke Makassar pada abad ke-16. Kehadiran sambal tauco ini menjadi salah satu ciri khas Coto Makassar yang membedakannya dari hidangan berkuah lain di Nusantara.

Perkembangan Coto Makassar

Seiring berjalannya waktu, Coto Makassar tidak lagi terbatas pada kalangan kerajaan atau masyarakat tertentu. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam pada awal abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Alauddin, proses pembuatan Coto Makassar semakin diperhatikan untuk memastikan kehalalan bahan-bahannya.

Penggunaan daging sapi dan kerbau yang diolah dengan cermat menjadi lebih menonjol, sementara proses memasak yang panjang dengan rempah-rempah kaya juga dikaitkan dengan nilai spiritual dalam menjaga kebersihan dan kualitas makanan.

Pada masa kolonial Belanda dan setelah kemerdekaan Indonesia, Coto Makassar mulai menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Warung-warung kecil di Makassar mulai menjajakan hidangan ini, sering kali disajikan dengan ketupat atau burasa (sejenis lontong yang dibungkus), bawang goreng, dan sambal tauco.

Coto Makassar juga mulai dikenal di luar Sulawesi Selatan, terutama melalui diaspora masyarakat Makassar yang bermigrasi ke berbagai daerah di Indonesia. Pada November 2008, Coto Makassar bahkan menjadi salah satu menu yang disajikan pada penerbangan domestik Garuda Indonesia dari dan ke Makassar, menunjukkan popularitasnya yang semakin meluas.

Coto Makassar juga telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Keberadaannya sebagai identitas kuliner Makassar diperkuat oleh fakta bahwa resep Coto Makassar sering kali diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga, dengan setiap keluarga memiliki variasi rasa yang sedikit berbeda.

Hidangan ini juga menjadi bagian dari tradisi budaya, seperti disajikan dalam acara pernikahan, khitanan, atau perayaan keluarga besar, sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur.

Keunikan Coto Makassar

Salah satu keunikan Coto Makassar terletak pada penggunaan hingga 40 jenis rempah-rempah, yang dikenal sebagai rampa patang pulo. Bumbu-bumbu ini meliputi kemiri, cengkeh, pala, sereh, lengkuas, merica, bawang merah, bawang putih, jintan, ketumbar, jahe, daun jeruk, daun salam, kayu manis, dan banyak lagi.

Campuran rempah ini tidak hanya menciptakan cita rasa gurih yang khas, tetapi juga berfungsi sebagai penawar kolesterol dari jeroan, menjadikan Coto Makassar hidangan yang relatif sehat meskipun kaya akan kandungan gizi.

Keunikan lainnya adalah penggunaan air bekas cucian beras (air tajin) dalam pembuatan kuahnya, yang memberikan tekstur kental dan rasa yang khas. Selain itu, Coto Makassar biasanya disajikan dalam mangkuk kecil dengan sendok bebek, dan dinikmati bersama ketupat atau burasa, ditaburi bawang goreng, daun bawang, dan seledri, serta dilengkapi sambal tauco dan perasan jeruk nipis untuk menambah kesegaran.

>> Baca Selanjutnya