Opini

Seusai Bahlil Lahadalia Mengunjungi Makam Leluhur di Pulau Buton


Sebagaimana lazimnya perantau di timur, anak-anak sejak dini sudah bekerja untuk membantu beban orang tuanya.  Itulah yang dilakoni Bahlil kecil. Masa kecil Bahlil bukanlah masa kecil yang penuh dengan fasilitas serta kebebasan untuk sekolah di mana. Dia terbiasa dengan kerja keras dan banting tulang untuk sesuap nasi.

Semasa kecil, dia pernah menjadi penjual kue. Di masa SMP, dia menjadi kondektur. Di masa belajar di SMEA Fakfak, dia menjadi sopir angkot. Dia juga melakoni banyak profesi lain.

Dia memang harus bekerja. Bapaknya adalah buruh bangunan yang mendapat gaji harian sebesar 7.500 rupiah, dan harus menghidupi delapan anaknya. Bahkan saat sakit pun, bapaknya tetap bekerja demi keluarga. Sedangkan ibunya adalah seorang pencuci pakaian di rumah orang, yang menerima uang lelah sekadarnya.

Suatu hari, Bahlil ingin mengubah nasib. Dia ingin merantau ke Jayapura dan kuliah di sana. Ibunya melarang. Dalam acara yang diasuh Gus Miftah di Inews TV, Wa Nurjani, menjelaskan alasannya.

“Orang kuliah itu setiap bulan orang tuanya akan kirim uang. Kalau dia kuliah di tempat lain, siapa yang mau kirim uang. Tapi dia bicara sama saya dan bapaknya. Katanya, saya cuma minta modal doa sama ibu dan bapak,” katanya.

Tak hanya doa, sang ibu juga memberi nasihat kepada Bahlil untuk kerja keras. Sang ibu menganggap pendidikan sangat penting. “Saya dan bapak hidup menderita. Karena kami tidak sekolah. Makanya anak-anak harus sekolah,” katanya.

Doa ayah dan ibunya adalah modal utama baginya untuk merantau. Dia merantau ke Jayapura, ibukota provinsi Papua, untuk kuliah. Dia mendaftar sebagai mahasiswa di STIE. Karena tak punya uang, dia tinggal di asrama sembari bekerja serabutan.

Saat belajar di semester 7, dia bertekad untuk berubah. Dia ingin mengubah jalan nasibnya. Dia memutuskan untuk jadi pengusaha. Berbekal jejaring yang dibangunnya semasa menjadi aktivis, dia memulai bisnis. Perlahan, dia meniti karier hingga sukses, dan melampaui apa yang dulu dibayangkannya.

***

Tahun 2021, Bahlil menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hari ini, Rabu 28 April 2021, dia akan dilantik menjadi Menteri Investasi. Dia menjadi anak bangsa yang menorehkan sejarah sebagai Menteri Investasi pertama dalam sejarah republik.

Dia dipercaya Presiden Jokowi untuk menjadi Kepala BKPM. Dia punya modal yakni kerja keras, serta pengalaman hidup dari nol. Dia sukses memimpin Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), wadah berhimpun para pengusaha muda se-Indonesia. Dia pun lama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang menjadi awal baginya membangun jejaring bisnis dan politik.

Banyak kalangan yang meragukannya. Dia dianggap tidak pintar. Bahasa Inggrisnya dianggap parah. Apalagi dia tidak lulus dari UGM, UI, ITB, atau kampus mentereng lainnya. Dia hanya lulusan sekolah ekonomi di Papua yang tidak masuk hitungan di peta nasional.

Namun setelah bekerja, Bahlil bisa bekerja dan melampaui semua target yang diberikan. Bersama jajarannya di BKPM, dia mewujudkan realisasi investasi yang melampaui target. Hebatnya lagi, itu dicapai di tengah situasi serba sulit, yakni pandemi covid-19.

Di era Bahlil, Indonesia menjadi gerbang emas yang didatangi semua investor. Perusahaan raksasa berdatangan. Semua ingin merealisasikan investasi di Indonesia. Bahlil sukses membangun ekosistem bisnis, yang kemudian membuat Indonesia begitu seksi di mata pebisnis internasional.

Presiden Jokowi tahu persis capaian kerja Bahlil. Dia puas dengan capaian Bahlil yang melebihi semua target. Bersama menteri lain seperti Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Bahlil menjadi kartu penting yang membawa Indonesia memasuki gerbang emas di era Jokowi.

Dia menjadi simbol timur, yang dulu pernah identik dengan Jusuf Kalla. Dia keturunan perantau Buton yang lahir di Maluku dan besar di Papua, kemudian sukses di Jakarta. Dia bisa menjadi perekat bangsa, tidak hanya di barat, tapi juga di timur melalui kebijakannya yang sukses mendorong investasi di luar Jawa.

Kini, garis takdir sedikit lai membawanya jadi sosok penting dan pengendali di partai berlambang beringin. Anak Papua ini tak pernah bermimpi akan menjadi pengendali gravitasi politik negeri ini.

Dua tahun silam, dia mengunjungi makam leluhurnya. Kini, dia sedikit lagi menggapai impiannya. Bukan memimpin partai, tetapi berbuat yang terbaik untuk bangsa. Perlulah dia mencamkan dalam hati, syair dari Sultan Idrus Kaimuddin, Sultan Buton yang bertahta di tahun 1824. Sultan Idrus menulis:

”E,.. karoku bega-bega umalango. Inda ufikiri kampodona umurumu."

 Wahai diriku, jangan mabuk kepayang.Tidakkah kau pikirkan pendeknya umurmu?

 

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.