Budaya
News

Singkawang Kota 1.000 Kelenteng, Salah Satu Kota Paling Toleran di Indonesia

UNHAS.TV - Sekitar 145 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, berdiri Singkawang, sebuah kota pelabuhan berpenduduk kurang dari 250 ribu jiwa.

Kota kecil ini mungkin tak seramai Pontianak atau kota-kota pesisir lain di Kalimantan. Namun, Singkawang kerap mencuri perhatian nasional.

Alasannya bukan semata karena kuliner khas atau julukannya sebagai Kota 1.000 Kelenteng, melainkan karena reputasinya sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.

Singkawang telah empat kali, sejak 2018, dinobatkan Setara Institute sebagai kota paling toleran. Di sini, etnis Tionghoa merupakan kelompok terbesar dengan 42 persen populasi.

Angka itu menjadikan Singkawang sebagai kota dengan persentase warga Tionghoa terbesar di Indonesia.

Selebihnya adalah penduduk dari berbagai latar belakang: Dayak, Melayu, Jawa, Bugis, Madura. Mereka hidup berdampingan tanpa sekat.

“Kami itu bersatu saling mendukung. Tidak ada fanatisme,” ujar Fab Bong, seorang Majelis Adat Budaya Tionghoa di Singkawang. “Kalau ada kegiatan, semua ikut, tidak peduli Dayak, Melayu, atau Cina.”

Sejarah panjang keberagaman Singkawang bermula sejak abad ke-18. Kala itu, para pekerja Tionghoa didatangkan ke Kalimantan Barat untuk menggarap lahan perkebunan dan tambang.

Dari sana, lahirlah sebuah akulturasi yang disebut Tidayu—akronim dari Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Identitas ini melekat kuat hingga kini.

Simbol toleransi Singkawang tampak jelas di jantung kota. Tiga rumah ibadah tertua berdiri berdekatan yakni Vihara Tridarma Bumi Raya, Masjid Raya Singkawang, dan Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi.

Warga setempat menyebut kawasan itu sebagai “segitiga bermuda toleransi”. “Mungkin tidak semua daerah punya yang seperti ini,” kata seorang tokoh agama.

Kebersamaan lintas etnis dan agama kian terasa saat festival Cap Go Meh digelar. Puncak acara ini adalah parade Tatung, ritual di mana seseorang dirasuki roh leluhur lalu diarak keliling kota.

Meski tradisi Tionghoa, parade Tatung tak melulu milik komunitas Cina. Dayak, Melayu, bahkan Bugis, ikut menjadi Tatung atau menggotong tandu. “Sekarang bukan hanya orang Cina yang ikut, semua suku terlibat,” kata Paulus Indung, Budayawan Dayak Salako.



Paulus Indung, Budayawan Dayak Salako. (dok unhas.tv)


Perayaan Cap Go Meh hanyalah satu contoh. Pada malam takbiran Idulfitri, umat Islam menggelar pawai obor, dan komunitas Tionghoa serta Katolik ikut membantu kelancaran acara.

Begitu pula ketika umat Kristiani mengadakan misa Natal, warga dari kelompok lain kerap memberikan dukungan. “Kami para pastor selalu sampaikan kepada umat: mari hargai perbedaan,” ujar Paulus.

Harmoni itu juga terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pasar tradisional menjadi ruang perjumpaan, tempat transaksi berlangsung tanpa sekat identitas. “Kami ini saling mencari, saling membutuhkan,” tambah Fab Bong.

Meski harmoni sudah mengakar, masyarakat Singkawang tetap menyadari pentingnya merawat toleransi.

Warga tua menurunkan nilai itu kepada generasi muda, yang kemudian melestarikan dalam keseharian. “Kita selalu sampaikan bahwa berbeda-beda tetap satu,” ucap seorang tokoh lokal.

Kini, Singkawang bukan hanya kota pelabuhan yang ramai oleh wisatawan dan ritual budaya. Ia menjadi simbol persatuan dalam keberagaman. Dari kota ini, pesan kuat dikirim ke seluruh Indonesia: perbedaan bukanlah alasan untuk bertikai, melainkan kesempatan untuk saling melengkapi.

Masyarakat Singkawang berharap keharmonisan yang telah terjaga akan menjadi fondasi bagi kemajuan kota. “Semoga Singkawang bisa menjadi contoh bagi kota-kota lain,” pungkas Fab Bong. (*)