Oleh: Yusran Darmawan*
Di tahun 1980-an, bule asal Amerika Serikat itu terkagum-kagum saat mendengar penjelasan bagaimana orang Bugis memahami navigasi. Tanpa kompas dan peralatan modern, pelaut Bugis bisa membawa perahu untuk belayar menjangkau negeri-negeri jauh. Dari Madagaskar hingga tanah Marege (Australia).
Berawal dari kekaguman, dia menulis disertasi dan buku mengenai Navigasi Bugis. Kini, dia mengumpulkan semua replika perahu Bugis untuk dipamerkan di Alden Library, Ohio, Amerika Serikat. Bahkan generasi Bugis hari ini mesti jauh-jauh ke sana hanya untuk sekadar melihat semua perahu karya nenek moyangnya.
Pria itu, Profesor Gene Ammarell.
***
Sebuah pesan masuk ke handphone saya. Pengirimnya adalah Profesor Gene Ammarell. Pesan itu berisi permintaan agar saya menemuinya di satu lokasi di Kota Kendari, kemudian menemaninya ke Bandara Haluoleo. Bersama sahabat, saya menjemput Ammarel lalu berbincang banyak.
Gene Ammarell adalah periset, antropolog, dan guru besar yang menghabiskan hidupya untuk meneliti budaya Bugis. Dia menempuh pendidikan doktoral di Yale University, Amerika Serikat.
Di ranah kajian pengetahuan lokal tentang navigasi, dirinya serupa nakhoda yang mengarahkan kemudi kajian. Karyanya, Navigasi Bugis, menjadi satu karya hebat bagi mereka yang tertarik dengan dunia maritim, serta bagaimana pengetahuan lokal dan kebudayaan memahami semesta maritim, lalu menjadi panduan untuk mengarungi lautan.
Saya mengenal Ammarell sejak tahun akhir tahun 2000-an saat membaca buku Navigasi Bugis. Di buku itu, saya menemukan peta pulau-pulau, serta peta-peta bintang yang dinamai dengan istilah-istilah Bugis. Buku itu serupa harta karun yang menyimpan banyak pelepah pengetahuan mengenai maritim dan dinamika di lautan sana.
Tak disangka, jalan nasib mempertemukan saya dengan Ammarell. Malah, saya belajar etnografi di kelas yang diasuhnya. Pada dirinya saya melihat ketekunan yang begitu hebat.
Di kelas itu, dia menunjukkan ribuan lembar catatan lapangan yang ditulisnya saat melakukan riset di Pulau Balo-baloang, di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Dia menempuh semua prosedur riset, termasuk tinggal di Pulau Balo-Baloang selama beberapa bulan demi mendapatkan pelukisan mendalam atas satu masyarakat dan budaya.
Di kelas itu, dia juga membuka gulungan kertas sebesar gulungan karpet masjid yang isinya adalah peta-peta kekerabatan (kingship) semua warga pulau. Saya yakin, tidak ada satupun warga pulau yang punya peta kekerabatan dan silsilah selengkap yang dibuat Ammarell.
Mengapa tertarik ke Pulau Balo-Baloang untuk memahami navigasi orang Bugis? “Serendipity” katanya. Dia menyebut semuanya adalah kebetulan. Ammarell berkisah, beberapa tahun lalu, dia adalah anak muda yang penuh hasrat untuk tertualang dan berkeliling dunia.
>> Baca Selanjutnya